Minardi (50) sibuk berkeliling di petak-petak sawahnya sembari menunjukkan tanaman bawang putih yang tumbuh subur di usia 15 hari kepada Pending Dadih Permana, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Jumat (12/1). Minardi adalah petani di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Minardi menanam bawang putih di areal seluas 1 hektar (ha). Bibit yang diperlukan 8 kuintal, dibeli dengan harga Rp 70.000 per kilogram. ”Insya Allah pada panen bulan Maret nanti, areal tanam 1 ha ini menghasilkan panen 15 ton basah atau sekitar 5 ton kering,” ujarnya optimistis.
Dirjen PSP saat itu meninjau pembangunan empat embung di Kecamatan Sembalun. ”Jika embung-embung itu berfungsi, areal sawah sekitarnya bisa ditanami bawang putih dari sekali setahun menjadi dua kali setahun,” ujarnya.
Menurut Dirjen PSP, enam desa di kecamatan yang berpenduduk 19.051 orang itu ditetapkan menjadi sentra pengembangan benih bawang putih varietas sangga sembalun. Hal itu untuk memacu kembali gairah petani yang pernah berjaya melalui komoditas bawang sampai tahun 1998. Kejayaan itu menyurut selama dua dekade menyusul masuknya bawang putih impor yang harganya lebih murah dibandingkan bawang putih lokal.
Target swasembada
Tujuan lain, Indonesia ditargetkan bisa swasembada bawang putih pada 2019. Saat ini, dari kebutuhan bawang putih nasional 500.000 ton setahun, 480.000 ton di antaranya dipasok dari impor, seperti dari China dan India. Sedangkan produksi bawang putih lokal, dari 2.000 ha areal tanam dihasilnya 20.000 ton.
Untuk mencapai swasembada bawang, pemerintah melakukan pendekatan dari hulu ke hilir. Seperti yang dilakukan di Kecamatan Sembalun. Dalam hal ini, petani diberi subsidi benih untuk dibudidayakan, dilakukan pengembangan areal tanam, dan seluruh hasil panen dibeli badan usaha milik negara yang ditunjuk pemerintah.
Untuk proses produksi, petani diberi subsidi pembangunan embung untuk irigasi tanaman bawang putih. Tahun 2017, di kecamatan seluas 217,8 kilometer persegi itu, dari 4.100 ha areal tanam, sebanyak 300 ha ditanami bawang putih.
Minardi yang juga Ketua Kelompok Tani Horsela, menanam benih bawang putih 4 kuintal di areal 0,5 ha. Benih itu ditanam Maret 2017 dan dipanen Juni 2017. Biaya produksi sekitar Rp 25 juta. Dari areal tanam itu Minardi bisa memanen 7 ton basah atau 2,2 ton kering. Hasil panen bawang putih yang dijadikan benih itu, 2.000 kg di antaranya dijual ke Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Provinsi NTB seharga Rp 70.000 per kg. Dari penjualan itu Minardi membeli benih lagi sebanyak 1.000 kg yang dikirim ke BPTP Provinsi Jambi.
”Sebenarnya yang dibutuhkan petani adalah pasar atau pembeli. Kalau pembeli ada, tanpa disuruh, petani pasti menanam. Seperti sekarang ini, petani mulai bergairah, karena kami hanya diminta menanam, benih dikasih, dan ada pembeli yang menampung produksi,” ujarnya.
Bergairah
Hal senada dikatakan Aziz (32), penangkar benih di Desa Sembalun Lawang. Ia bekerja sama dengan petani melakukan penangkaran benih bawang putih varietas sangga sembalun di lahan seluas 500 ha, termasuk perbanyakan di lahan sebuah perusahaan produk hortikultura, yang jumlahnya 21 teras. Ukuran per teras 40 are (0,4 ha).
Dari seluruh areal itu, Azis bisa memproduksi 5.000 ton benih. Dari jumlah benih itu, 2.300 ton di antaranya untuk memenuhi kebutuhan Sembalun. Sisanya untuk memenuhi kebutuhan petani Lombok Timur, seperti Desa Suwela, Wanasaba, Sikur dan Pringgasela.
”Namun, ketersediaan benih yang ada saat ini masih kurang dibandingkan permintaan yang jumlahnya 10.000 ton per tahun,” kata Azis.
Belum lagi kebutuhan bibit untuk pengadaan nasional. Tahun 2018, Azis kebagian kontrak dari pemerintah untuk penyediaan benih bawang putih sebanyak 2.300 ton.
Azis yang juga Ketua Gapoktan Sembalun Horti 441 mengaku, harga benih bawang putih Rp 50.000-Rp 60.000 per kg di tingkat lokal, sedang harga bawang putih basah Rp 17.000 per kg. Tahun lalu, harga bawang putih tembus Rp 22.000 per kg. Harga jual itu mengindikasikan, petani mulai melupakan trauma bertanam bawang putih selama 20 tahun.
”Sekarang petani malah bergairah menanam bawang putih,” ujar Azis. Penyebabnya, pemerintah turun tangan langsung mengawal penanaman bawang putih dari subsidi benih, pascapanen hingga mencarikan pembeli, termasuk penyediaan infrastruktur irigasi, seperti embung.
Dengan segala kemudahan itu, selain petani bisa melakukan diversifikasi tanaman, seperti kubis, cabai, kentang, stroberi, dan komoditas sayuran lain. Lahannya juga ditanami bawang putih yang umur tanam 155 hari. Selama setahun terakhir, areal tanam di desa-desa kecamatan di punggung Gunung Rinjani (ketinggian 800 mdpl-1.200 mdpl) itu tidak pernah kosong dari berbagai jenis komoditas sayuran, selain padi lokal untuk konsumsi rumah tangga petani.
Diversifikasi budidaya tanaman itu sekaligus meningkatkan penghasilan petani selain dari bawang putih yang bisa dirasakan saat ini. Azis, misalnya, mengaku, tahun lalu, dari total areal tanamnya, dengan biaya produksi Rp 120 juta, hasil penjualan bersih yang diperolehnya Rp 250 juta per ha.