MANADO, KOMPAS — Dua nelayan di dua lokasi berbeda di Sulawesi Utara hilang akibat diterjang gelombang tinggi. Hingga Kamis (18/1), upaya pencarian korban terus dilakukan oleh regu penolong Kantor Search and Rescue Manado bekerja sama dengan Pangkalan TNI Angkatan Laut Tahuna di Sangihe.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi Sulut Roy Saroinsong, Kamis, mengatakan, nelayan itu adalah Jotri Mandiangan (30), asal Kabupaten Sangihe, dilaporkan hilang pada Senin di perairan Sangihe. Sementara satu nelayan lainnya, Marnes Patolongen (43), warga Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro, hilang di perairan Pulau Siau pada Selasa lalu.
Menurut Saroinsong, selain oleh petugas SAR Manado dan TNI AL, upaya pencarian juga dilakukan oleh nelayan setempat. ”Pemerintah Kabupaten Sangihe dan Sitaro mengerahkan nelayan tradisional setempat untuk membantu upaya pencarian korban,” ujarnya.
Komandan Pangkalan TNI AL Tahuna Kolonel Setiyo Widodo mengatakan telah mengerahkan sebuah kapal perang TNI AL untuk mencari korban di perairan Sangihe hingga ke Pulau Marore di perbatasan Indonesia-Filipina. Namun, gelombang tinggi di wilayah perbatasan agak menyulitkan proses pencarian.
Istri Marnes, Rosita Pontomudis, mengatakan, suaminya pamit pada Selasa malam untuk mencari ikan di perairan Biaro dengan menggunakan perahu ketinting. Jarak melaut berkisar 1-2 mil (1,852 km-3,7 km) dari tempat tinggalnya di Kampung Birarikei. Namun, hingga Kamis, Marnes belum pulang. ”Saya melapor ke polisi, suami saya hilang sejak pergi melaut Selasa malam. Biasanya, kalau berangkat malam, paginya sudah pulang,” kata Rosita. Ia menambahkan, pihak keluarga telah berupaya mencari Marnes di lokasi melaut, tetapi tidak menemukannya.
Adapun upaya pencarian terhadap Jotri juga dilakukan oleh aparat TNI AL ke arah timur perairan Sangihe, lokasi perkiraan hilangnya korban. Epang Langit, nelayan, sempat melihat korban mengarahkan perahunya ke arah tersebut.
Pelaksana Harian Kepala Kantor Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kesyahbandaran Ulu Siau, Laurens Luminda, mengatakan, gelombang tinggi dan angin kencang memaksa pihaknya menghentikan pelayaran dari Pelabuhan Ulu Siau, Sitaro, sejak Senin hingga Rabu. Penutupan itu membuat aktivitas transportasi laut lumpuh total.
”Penutupan pelayaran demi keselamatan kapal dan penumpang. Siapa berani berangkat dengan laut berombak setinggi 3 meter. Sangat berisiko untuk keselamatan,” katanya. Sejumlah kapal dari Manado menuju Sangihe juga harus berlindung di Pelabuhan Ulu Siau.
Kepala Dinas Perhubungan Sulut Joy Oroh telah meminta nelayan dan nakhoda memperhatikan perubahan cuaca yang tiba-tiba, terutama di wilayah utara meliputi Talaud, Sangihe, dan Sitaro. Cuaca ekstrem disertai angin kencang memicu laut bergelombang tinggi. (ZAL)