PALU, KOMPAS — Di tengah perkembangan masif digital, terutama dalam media sosial, media massa bertarung untuk mempertahankan eksistensinya. Namun, kadang cara bertahan hidup tersebut justru mengancam jurnalisme, terutama dengan prinsip kerja umpan klik (click bait) yang mengedepankan sensasi.
Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, menyatakan hal tersebut dalam seminar bertema ”Jurnalis Televisi di Era Digitalisasi”. Seminar diselenggarakan dalam rangka Musyawarah Daerah III Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Palu, Sulteng, Sabtu (20/1).
”Bertahan hidup dilakukan media massa agar tetap memperoleh pangsa iklan. Namun, cara bertahan hidup dengan kerja umpan klik justru berbahaya bagi jurnalisme. Untuk menggaet pembaca, berita dibikin sensasional dan bombastik,” kata Imam.
Berita dengan pendekatan umpan klik dicirikan dengan pemakaian kata waduh, tolong share, mengejutkan, dan wajib dibaca. Kata-kata tersebut biasanya dibubuhkan pada judul berita.
Berita-berita dengan kerja umpan klik biasanya berpotensi membawa kekacauan karena judul dan isinya kadang tidak sesuai. Dengan kecenderungan gampang menyebarkan berita di era digital, berita tersebut bisa membentuk opini atau penafsiran yang keliru.
Imam menyampaikan perkembangan digital memang mengubah kerja media, terutama dari segi pendapatan melalui iklan. Namun, perubahan tersebut seharusnya tak mengubah jurnalisme yang tetap berlandaskan verifikasi dan akurasi.
Tiga masalah
Selain menggunakan pendekatan umpan klik, kegamangan media massa di era digital tecermin pada kecenderungan menyebarkan berita bohong (hoaks). Media menulis berita hanya berdasarkan informasi yang beredar di kanal-kanal atau aplikasi percakapan. ”Prinsip dasar seperti verifikasi diabaikan,” ujar Imam.
Masalah lain adalah jurnalisme kelompok kepentingan. Saat ini, banyak laman atau situs berita yang seolah-olah bermuatan jurnalistik, tetapi sebenarnya syarat kepentingan. Berita diproduksi untuk kepentingan politik orang-orang tertentu. Berita disebar secara masif sehingga menjadi viral.
Sayangnya, lanjut Imam, media massa menjadikan informasi viral dari kelompok kepentingan tersebut sebagai berita. Ruang publik dijejali informasi dari orang-orang berkepentingan.
Imam mengingatkan media massa boleh saja memanfaatkan platform digital, tetapi prinsip jurnalisme utamanya verifikasi tetap jadi pegangan utama. Ia yakin media massa tetap akan bertahan hidup dengan jurnalisme yang mengutamakan verifikasi dan akurasi.
Sekretaris IJTI Indria Purnama Hadi pada kesempatan sama menyatakan, selain verifikasi, penelitian juga perlu jadi prinsip kerja jurnalisme pada era digital. Penelitian akan membuat berita yang disampaikan lebih dalam dan bermakna.