BOYOLALI, KOMPAS — Bencana tanah longsor mulai mengancam pada puncak musim hujan saat ini. Karena itu, masyarakat diimbau meningkatkan kewaspadaan karena tanah longsor berpotensi terjadi hingga akhir Februari akibat curah hujan tinggi.
Minggu, (21/1) malam, longsor terjadi di Boyolali, Jawa Tengah. Tebing setinggi 25 meter di sisi jalan jalur Selo menuju Magelang, Jawa Tengah, di kawasan lereng Gunung Merbabu di Desa Jrakah, Kecamatan Selo, longsor akibat hujan deras. Material longsoran menutup badan jalan. Tidak ada korban jiwa, tetapi jalur tersebut sempat ditutup beberapa jam.
Pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali bersama personel Polri dan TNI, warga, serta sukarelawan bergotong royong membersihkan material longsoran, Senin (22/1). ”Sekarang jalan sudah dapat dilalui kendaraan roda empat,” kata Kepala BPBD Boyolali Bambang Sinung di Boyolali.
Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah Sarwa Pramana mengatakan, ancaman tanah longsor rawan terjadi selama puncak musim hujan dari Januari hingga Februari. ”Karena puncak musim hujan diperkirakan Januari hingga akhir Februari dengan curah hujan tinggi berkisar 300-500 milimeter per hari,” katanya.
Sarwa mengatakan, di Jawa Tengah daerah yang paling rawan ditimpa bencana tanah longsor adalah Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Pemalang, Karanganyar, Pekalongan, dan Kebumen. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor itu diimbau meningkatkan kewaspadaan.
Pasalnya, tanda-tanda ancaman tanah longsor seperti pergerakan tanah mulai terjadi, antara lain di Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara. ”Banjarnegara itu terdiri atas 20 kecamatan, 18 kecamatan di antaranya rawan longsor, dengan tipe pergerakan tanah yang berbeda,” katanya.
Sarwa mengatakan, menghadapi ancaman bencana tanah longsor, termasuk banjir pada puncak musim hujan, BPBD kabupaten/kota di seluruh Jawa Tengah dalam kondisi siaga darurat bencana. Semua BPBD kabupaten/kota Jawa Tengah telah dikoordinasikan untuk saling membantu jika terjadi bencana alam.
”Dengan status siaga darurat bencana itu, di saat terjadi bencana tiap daerah sudah siap semua, peralatan, logistik, dan sebagainya. Kalau ada satu kabupaten terkena bencana, BPBD kabupaten/kota lain akan membantu,” katanya.
Sarwa mengatakan, menghadapi potensi longsor, BPBD beserta relawan penanggulangan bencana terus memantau munculnya rekahan-rekahan tanah. Namun, upaya pemantauan ini menghadapi kendala keterbatasan personel. Karena itu, masyarakat bisa turut aktif memantau munculnya rekahan atau pergerakan tanah.
Sementara itu, untuk meminimalkan jatuhnya korban akibat bencana alam, seperti gempa bumi, puting beliung, banjir, dan kebakaran, BPBD Jawa Tengah memberi pelatihan peningkatan kapasitas terhadap para penyandang disabilitas untuk penanggulangan bencana.
Dengan demikian, saat terjadi bencana alam ataupun kebakaran, mereka dapat menyelamatkan diri masing-masing sebelum tim SAR dan relawan datang menolong. ”Diharapkan mereka yang mengikuti pelatihan itu dapat menularkan ilmunya kepada rekan-rekanya,” kata Sarwa.