Benih Vegetatif Diminati
BATU, KOMPAS — Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, tengah mendorong petani setempat untuk memakai benih kentang hasil perbanyakan vegetatif yang dilakukan di luar laboratorium (ex vitro). Cara ini lebih efektif ketimbang cara lama yang menggunakan umbi.
Beberapa kelebihan benih hasil perbanyakan ex vitro, antara lain, adalah waktu perbenihan yang lebih singkat, hanya dua bulan. Itu lebih singkat ketimbang umbi yang perlu waktu tiga bulan. Kelebihan lain, bersifat sama dengan induk. Jika induknya bagus, hasil perbanyakannya ikut bagus. Produktivitasnya tergolong banyak, bisa mencapai 35 ton per hektar.
”BPPT berusaha membantu petani menyediakan bibit yang berkualitas. Kami menyediakan teknologi yang bisa menyediakan bibit secara mudah dan massal. Biaya bibit ini juga lebih murah hingga 50 persen dibandingkan umbi,” ujar Kepala BPPT Unggul Priyanto seusai penanaman bibit kentang varietas granola, yang diperbanyak menggunakan sistem ex vitro di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Batu, Senin (22/1).
Untuk mewujudkan upaya ini, BPPT melalui Balai Teknologi berhasil memproduksi 80.000 benih. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40.000 benih telah ditanam (uji coba) bersama kelompok tani Desa Sumberbrantas dan Dinas Pertanian Batu.
Tanaman uji coba itu ditanam di lahan seluas 1.500 meter persegi dengan hasil panen sekitar 35 ton per hektar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi kentang pada 2016 di wilayah itu, yang hanya 18,62 ton per hektar.
Selain membangun sarana produksi berkapasitas 100.000 benih per tahun di Desa Sumberbrantas, menurut Unggul, juga akan digelar pelatihan kepada kelompok tani di Sumberbrantas agar mereka bisa memperbanyak benih sendiri. Selain di Batu, hal serupa dikembangkan di Wonosobo, Jawa Tengah. ”Teknologi ini sudah disederhanakan sedemikian rupa sehingga petani bisa dengan mudah memproduksi bibit,” ucapnya.
Berpusat di Sumberbrantas
Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko mengatakan, saat ini baru beberapa petani di wilayahnya yang telah mencoba menanam benih tersebut. Namun, nantinya semua petani kentang di Batu akan diarahkan untuk menggunakan benih ex vitro.
Saat ini, luas lahan kentang di Batu mencapai 1.500-1.600 hektar yang sebagian besar terkumpul di daerah Sumberbrantas dengan produktivitas 25-30 ton per hektar. ”Kami akan membantu fasilitas yang nantinya bisa meringankan beban petani untuk berproduksi. Bagaimana mereka menjalankan pertaniannya. Entah nanti programnya apa, mau obat-obatan atau pupuk, yang pasti bisa membantu petani,” ujar Dewanti.
Menurut Dewanti, selain masalah benih dan peningkatan produksi, cara pemasaran juga sedang dipikirkan. Salah satunya, terkait bagaimana harga kentang petani tidak jatuh saat musim panen raya tiba. Yang tengah dipikirkan, lanjut dia, adalah membuat produk turunan kentang untuk oleh-oleh wisatawan. Saat ini, harga kentang sedang bagus, yakni Rp 14.000 per kilogram, naik dari sebelumnya yang Rp 11.000 per kilogram.
Yunus dan Junaedi, anggota Gabungan Kelompok Tani Sumberjaya, Desa Sumberbrantas, menambahkan, selama ini petani mendapatkan benih kentang serta membeli dan membuat, tetapi semua menggunakan umbi. ”Salah satu keuntungan ex vitro bisa dikembangkan menjadi ribuan benih dalam waktu 5-6 bulan sehingga persediaan benih petani tercukupi,” ujar Junaedi yang telah mencoba menanam benih tersebut.
Penjajakan untuk apel
Selain kentang, BPPT tengah mencari solusi untuk meningkatkan kualitas apel Batu, termasuk perbanyakan bibit sebagaimana dilakukan pada kentang. BPPT tengah memetakan genetika apel batu dan mencoba pembibitan dengan pola ex vitro. Ada beberapa masalah yang dihadapi apel Batu, antara lain ukurannya kecil, masam, dan sulit berkembang di daerah yang lebih rendah akibat perubahan suhu.
”Di skala laboratorium, kami sudah berhasil menumbuhkan tunasnya, akan bisa diperbanyak dengan ex vitro, sehingga nanti petani bisa melakukan pembibitan sendiri. Semoga pada 2019 sudah bisa,” kata Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Eniya Listyani Dewi. (WER)