Berjibaku demi Anak-anak Asmat
Agar tidak terkena percikan air laut atau hujan sepanjang perjalanan, beberapa barang dibungkus dengan terpal. Adrianus, yang didampingi Frater Tinus dari tim asistensi Keuskupan Agats, mengantar bantuan itu ke beberapa kampung di Distrik (setingkat kecamatan) Pulau Tiga. Di sana sudah menanti ratusan anak dari Kampung Kapi, Aou, As, dan Atat.
Lewat radio, Tinus melaporkan ke pos komando Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) di Agats tentang perjalanan dan tujuannya itu. Titik pertama yang disinggahi adalah Kapi. Ia juga meminta pos komando agar meneruskan informasi itu ke Kapi. Tujuannya, jika terjadi kendala di tengah jalan, posisi mereka bisa dilacak.
Masih ada buaya
Dengan beban muatan sebanyak itu, waktu tempuh perjalanan yang biasanya sekitar tiga jam dipastikan molor. Bukan hanya karena beban, kondisi sungai dan kali yang berkelok serta mulai dangkal akibat surut, atau istilah lokal meti, menghambat laju perahu. Kondisi itu terasa setelah 2,5 jam pertama.
Mendung bergelayut di wajah Adrianus selepas Kampung Yamas, Distrik Joerat. Ia harus memutar arah perahu dari Sungai Pomac ke sebuah kali kecil yang tampak dangkal. Belum sampai 100 meter, mesin perahu kandas di lumpur sehingga harus dimatikan.
Ia mendayung perahu, bahkan beberapa kali harus turun ke air untuk mendorong perahu. Sesekali Tinus ikut mendorong. Kompas ingin mencoba membantu, tetapi dicegah Adrianus. ”Di sini banyak buaya. Orang baru jangan turun, bisa bahaya,” ujar putra asli Papua itu.
Lepas dari lokasi itu, perjalanan selanjutnya sedikit lebih mudah. Namun, Adrianus yang memegang kemudi di bagian belakang perahu serta Tinus yang duduk di bagian tengah perahu tanpa atap itu basah kuyup terkena percikan air sepanjang perjalanan. Hujan juga mengguyur selama sekitar 1 jam. Perahu akhirnya tiba di Kapi sekitar pukul 17.00 WIT atau 6 jam perjalanan.
Perjuangan Adrianus dan Tinus bukan kali ini saja. Sabtu (20/1) petang, mereka mengangkut delapan orang dari Kapi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats. Empat di antaranya adalah anak yang dalam keadaan lemas karena terkena gizi buruk.
Naas, 30 menit sebelum tiba di Agats, bahan bakar habis. Sebanyak 35 liter premium terkuras lantaran mereka harus menempuh rute agak jauh untuk menghindari surut. Tinus lalu meminta bantuan melalui radio.
Sementara itu, di Kapi, dokter Bruder Bambang OFM menangani ratusan anak dari Kapi, Aou, As, dan Atat. Dari 68 korban meninggal akibat merebaknya campak dan gizi buruk di Asmat sejak September 2017, jumlah korban terbanyak berasal dari Kapi, As, dan Atat, yakni 39 orang. Adapun jumlah korban dari Aou belum terekam.
Bambang, yang dibantu beberapa orang, menangani anak-anak itu dengan obat dan peralatan seadanya. Obat
untuk pasien diracik dengan cara ditumbuk dengan sendok atau batu. Anak-anak yang kondisinya memerlukan perawatan lebih intensif dirujuk ke Agats.
Namun, Rufus, salah satu orangtua, sempat menolak anaknya dibawa ke RSUD Agats. Setelah dijelaskan oleh Bambang tentang kondisi anaknya, Rufus baru mengerti. ”Kalau mau anakmu sehat dan pintar, harus ke Agats. Di sana banyak alat dan dokter dari Jakarta,” ujar Bambang dengan nada tegas. Rufus terdiam.
Seusai menghadap Bambang, Rufus baru mengungkapkan kekesalannya. ”Kalau dokter dari Agats yang periksa, saya tidak mau. Mereka kerja tidak betul. Nanti saya punya anak bisa mati,” kata Rufus.
Pengawasan langsung
Selain dirawat petugas medis, penderita gizi buruk dan campak juga diberi makanan tambahan dalam pengawasan langsung tim relawan. Jika tidak, makanan itu dikhawatirkan habis dimakan orangtua mereka. Pada Senin pagi, ratusan anak di Kapi, As, dan Atat mengantre untuk mendapatkan bubur kacang hijau.
Hari itu pula, empat anak ditambah 15 anggota keluarga dari ketiga kampung dibawa ke Agats menggunakan perahu yang dikemudikan Alfons, didampingi Lexi. Para pasien mengalami gizi buruk, anemia, dan malaria.
Perjalanan sekitar 4,5 jam itu melewati sejumlah kali, sungai, dan laut dengan gelombang yang membuat kapal oleng selama hampir dua jam. Percikan air membuat penumpang basah kuyup. Di bawah terik hingga 36 derajat celcius di perahu tidak beratap itu, mereka berlindung di dalam terpal.
Sabtu malam, dokter Dimas Dwi Saputro dari tim Kementerian Kesehatan yang ditugasi di RSUD Agats tampak kewalahan memeriksa 31 anak yang baru datang dari sejumlah kampung. Dia juga berusaha memberi pengertian kepada keluarga pasien agar mengikuti prosedur. Ada di antara mereka yang takut anaknya diinfus.
Minimnya kapasitas rumah sakit itu membuat sebagian pasien ditampung di aula Gereja Kristen Protestan Indonesia Jemaat Betlehem Agats yang berjarak sekitar 100 meter dari RSUD Agats. Beberapa pasien sempat keberatan saat diarahkan ke aula itu. Menurut rencana, petugas akan mendirikan tenda di luar aula.
Di aula itu, sejumlah keluarga pasien terlihat membawa beberapa sisir pisang mentah, bantal, tikar, dan air mentah dalam jeriken yang diambil dari sungai yang keruh di kampung mereka. Itu bekal mereka.
Tak hanya di Kapi, tim gabungan yang datang dari berbagai instansi, seperti Kementerian Kesehatan, TNI, Polri, dan Kementerian Sosial, juga mendatangi sejumlah kampung.
Begitu pula dukungan dari Orari setempat yang berjaga selama 24 jam. Alat komunikasi andalan hanya radio yang menjangkau seluruh kabupaten yang seluas 31.983 kilometer persegi itu. Dari 224 kampung di Asmat, hanya belasan kampung yang terjangkau jaringan seluler. Mereka berjibaku untuk menyelamatkan anak Asmat.