PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Tengah belum diakui keberadaannya. Belum ada satu pun hutan adat yang diakui pemerintah di Kalimantan Tengah. Penyebabnya, belum semua pemerintah kabupaten membentuk panitia Masyarakat Hukum Adat untuk memfasilitasi masyarakat membentuk wilayah adatnya.
”Bagaimana masyarakat hukum adat mau diakui kalau wilayah adatnya, dalam hal ini hutan adat, tidak ada. Kami sudah melakukan pemetaan wilayah adat, tetapi tidak ada wadah untuk memberikan data-data itu ke pemerintah,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah Simpun Sampurna, di Palangkaraya, Senin (22/1).
AMAN Kalteng sudah memetakan 12 wilayah adat yang berada di enam kabupaten. Rinciannya, empat wilayah adat di Kabupaten Barito Utara, empat di Gunung Mas, satu di Barito Selatan, satu di Pulang Pisau, satu di Lamandau, dan satu lagi di Kotawaringin Barat.
Simpun Sampurna, biasa dipanggil Dadut, mengatakan, selain membuat peta wilayah adat, pihaknya telah menyusun sejarah, asal-usul komunitas adat, data kelembagaan adat, dan hukum adat di wilayah-wilayah tersebut. Untuk mendapatkan pengesahan, menurut Dadut, data-data tersebut harus diverifikasi Panitia Masyarakat Adat (PMA).
Dadut menjelaskan, dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, hanya Kabupaten Barito Selatan yang sudah membentuk PMA pada 2015. Namun, pergantian kepala daerah membuat pengesahan hutan adat dibatalkan karena alasan politik.
Dadut menambahkan, pembentukan PMA merupakan kewajiban pemerintah daerah, dalam hal ini kabupaten. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun, aturan tersebut belum direspons pemerintah kabupaten.
Pada 2016, Presiden Joko Widodo menargetkan akan membentuk 1,5 juta hektar untuk perhutanan sosial di Kalteng. Kalteng pun menjadi barometer Presiden untuk perkembangan perhutanan sosial. ”Dari sekian banyak jenis perhutanan sosial, hanya hutan adat yang prosesnya jalan di tempat,” ujarnya.
Direktur Justice, Peace, and Integrated of Creation Kalteng Frans Sani Lake mengatakan, pihaknya selama ini mendampingi Masyarakat Hukum Adat untuk memetakan wilayah adat. Menurut dia, wilayah adat bisa menjaga hutan masyarakat dari investasi yang merusak lingkungan.
”Menjaga hutan adat sama dengan menjaga budayanya. Kalau hutan adat hilang, budaya Dayak juga hilang. Apalagi, tujuan pembentukan perhutanan sosial agar masyarakat bisa memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan mereka,” tutur Frans.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target 1,5 juta hektar pada 2019, baru 77.560 hektar perhutanan sosial terealisasi. Rinciannya, hutan desa 45.020 ha, hutan tanaman rakyat 24.799 ha, dan hutan kemasyarakatan 7.741 ha. Untuk hutan adat dan kemitraan kehutanan belum ada yang terealisasi.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Wisan mengatakan, pihaknya sudah membentuk kelompok kerja untuk percepatan pembentukan perhutanan sosial. Namun, masih belum terkoordinasi dengan pemerintah kabupaten. ”Kendalanya di koordinasi dan sosialisasi. Masih banyak yang belum memahami soal perhutanan sosial,” kata Wisan. (IDO)