Hanni Dawas (2) tergolek lemah di atas dipan di selasar Instalasi Gawat Darurat RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Kepada kedua orangtuanya, Minggu (21/1), perawat meminta persetujuan untuk memasang alat bantu pernapasan. Selain menderita gizi buruk, anak balita asal Kampung Ayam Kecil itu diduga juga menderita sesak napas.
Di ruang sebelah, Otto Tere (1), dari Kampung Sawa, menangis. Ia kesulitan menelan obat cair yang disodorkan perawat kepadanya. Seperti Hanna, selain menderita gizi buruk, Otto diduga mengidap tuberkulosis. Mereka dirawat di tempat yang sama dengan Barnabas Berpit (4) dan Yustina Oi (7) yang telah dirawat sejak beberapa hari lalu karena gizi buruk.
Mereka bagian dari 92 anak balita dan anak yang kini dirawat di RSUD Agats karena berbagai keluhan, seperti gizi buruk, campak, dan keluhan lain seperti malaria, kejang-kejang, dan pneumonia.
Tubuh anak balita dan anak-anak yang kurus kering itu seolah berbanding terbalik dengan kondisi Asmat yang berhutan lebat, kaya dengan pokok-pokok sagu serta sungai-sungai lebar penuh ikan.
”Ironis, ya, di atas tanah yang kaya ini, anak-anak menderita gizi buruk,” kata Bupati Asmat Elisa Kambu. ”Mereka saat ini suka makan beras, yang tidak ditanam di Asmat. Mereka lebih suka makan mi instan yang juga tidak ditanam di sini. Mereka lebih suka roti, teh, kopi, dan gula yang juga tidak ditanam di Asmat,” kata Elisa.
Pernyataan itu menggambarkan perubahan konsumsi sebagian warga Asmat. Leo Berpit (26), orangtua Barnabas yang tinggal di Kampung Syuru, 1 kilometer dari pusat kota Agats mengatakan, ia tak pernah memberi anak-anaknya makan-makanan lokal. Leo yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toko di Agats mengatakan, sudah terbiasa memberi anak-anaknya nasi. ”Ikan pun jarang-jarang,” kata Leo.
Ia tidak punya cukup uang untuk membeli ikan. Per bulan, ia hanya membawa pulang Rp 500.000 dari Rp 1,5 juta upah yang diterimanya. ”Yang lain dipotong untuk membayar utang rokok dan makanan,” kata Leo.
Selain perubahan konsumsi dan kemiskinan, pola paternalistik di keluarga Asmat, berpengaruh pada kondisi tumbuh kembang anak. Tiga dari enam anak Leo kini dirawat di RSUD karena gizi buruk.
Namun, menurut Elisa, kasus gizi buruk dan campak yang tengah dihadapi Asmat bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan cara hidup warga, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung. Kebersihan, pola relasi di keluarga, pemahaman atas cara hidup sehat, juga turut memengaruhi.
Diakui kurang optimal
Di sisi lain, Elisa pun mengakui layanan pendidikan dan kesehatan dari pemerintah pun kurang memadai. Aparat pemerintah kurang optimal melayani warga. Militansi, dedikasi, dan pengabdian mereka sebagai pamong warga, kerap kalah dengan kendala geografis, keterbatasan komunikasi, dan fasilitas lainnya saat ditempatkan di pelosok Kabupaten Asmat.
”Banyak yang tidak ada di tempat tugas, padahal kami telah memberi insentif tambahan, terutama untuk mereka yang ditempatkan di kampung-kampung. Kami sudah coba tegur, tetapi juga belum banyak perubahan,” ujar Elisa.
Padahal, kontinuitas kehadiran, terutama dalam layanan pendidikan dan kesehatan, menurut Elisa, sangat penting guna memperkenalkan serta menginternalisasikan cara hidup sehat. Sejumlah insentif telah diberikan, besarannya berbeda menurut jarak jangkau dari kota Agats. Untuk perawat yang bertugas di wilayah terjauh menerima insentif Rp 4 juta dan Rp 14 juta untuk dokter.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Pieter Pajala mengakui, besaran insentif itu relatif kecil. Namun, ada juga perawat dan dokter yang tetap bertugas dengan baik.
Tak pernah datang
Sebaliknya, ia mengakui ada sejumlah jajarannya yang kurang berdedikasi. ”Ada satu dokter yang kami sekolahkan untuk mengambil spesialisasi, tetapi setelah lulus dan sebulan berada di Asmat, ia meminta izin berobat dan tidak kembali,” kata Pieter sambil tersenyum.
Ada juga dua dokter yang dikirim dari Jakarta dan surat tugasnya telah ia terima pada 2016, tetapi belum hadir di Asmat. ”Kabarnya, saat di Jayapura dan mendengar cerita-cerita tentang Asmat, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pergi ke Asmat,” kata Pieter.
Jika mengacu pada sejumlah program, Asmat sebenarnya telah memiliki cara dan upaya untuk menjawab problem kesehatan warga. Salah satunya lewat program 1.000 Hari Pertama Kehidupan Manusia, berupa pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan anak di bawah 2 tahun. Tahun lalu, dikucurkan dana hingga Rp 18 miliar guna program itu. Sebanyak 700 ibu hamil telah mendapat layanan makanan tambahan sekali sehari, lima hari seminggu.
Namun, program itu baru bisa menjangkau 13 dari 16 puskesmas yang ada di Asmat. Dr Steven dari RSUD Agats mengatakan, tahun ini program itu akan dikembangkan untuk semua puskesmas dan ke kampung-kampung.
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua Silwanus Sumule mengapresiasi program itu. Dari segi pembiayaan, ia yakin program itu berjalan baik. Tahun ini, menurut Silwanus, dana bidang kesehatan yang dikelola Kabupaten Asmat, bersumber dari dana alokasi khusus, BPJS, dan otsus mencapai Rp 98 miliar. Jumlah itu naik Rp 14 miliar, jika dibandingkan dengan kucuran dana 2017, yang sebesar Rp 84 miliar.
”Ditambah dengan sumber lain, setidaknya Asmat mengelola lebih dari Rp 100 miliar,” kata Silwanus.
Namun, dana dan sejumlah program yang tengah dikembangkan tak akan efektif jika mereka yang seharusnya terlibat ternyata tidak terlibat. Berapa pun dan sebesar apa pun dana serta kekayaan alam Asmat, tak akan banyak berpengaruh, dan warga yang kembali menjadi korban. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)