PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah dinilai belum serius menjalankan reformasi agraria di Indonesia. Hal itu dilihat dari target pencapaian perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria, yang masih jauh dari target. Penguasaan ruang dinilai masih didominasi korporasi.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati dalam acara Refleksi Awal Tahun di Palangkaraya, Jumat (26/1). Kegiatan tersebut digelar lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan Tengah dan dihadiri oleh sejumlah pegiat lingkungan Kalimantan Tengah.
Nur Hidayati, yang biasa disapa Yaya, dalam paparannya mengatakan, reforma agraria merupakan kebijakan pemerintah untuk mengakui dan melindungi ruang kelola rakyat, yang diterbitkan melalui beberapa kebijakan sejak 2015. Namun, capaian hingga kini masih jauh dari target dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Nasional.
Data dari Walhi menunjukkan, untuk perhutanan sosial dari target 12,7 juta hektar, baru terwujud 630.704,84 hektar atau 4,97 persen. Sedangkan untuk tanah obyek reforma agraria (TORA), dari 8,3 juta hektar, baru terealisasi 695.427,11 hektar atau 8,2 persen. ”Ini sudah tinggal dua tahun lagi pemerintahan Presiden Jokowi berkuasa, jangan sampai kebijakan-kebijakan ini hanya pemanis di awal saja,” ujar Yaya.
Menurut Yaya, rendahnya capaian tersebut karena mekanisme kebijakan yang belum mengakomodasi skema-skema penyelesaian konflik, antara rakyat dan korporasi industri ekstraktif. Tingginya konflik juga terjadi karena penguasaan ruang yang masih didominasi korporasi.
Bermuka dua
Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, luas daratan di Indonesia mencapai 191.944.000 hektar persegi dan luas lautan mencapai 327.381.000 hektar persegi. Korporasi mengelola lahan seluas 159.178.237 hektar persegi. Sebagian besar wilayah izin tersebut berada di darat, dengan pembagian 82,91 persen di darat dan 29,75 persen berada di laut.
”Artinya kebijakan masih bermuka dua, target pertumbuhan ekonomi masih dengan eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi, padahal kebijakan harusnya prorakyat,” kata Yaya.
Di Kalimantan Tengah, kemajuan reforma agraria juga masih lamban. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, menunjukkan dari target 1,5 juta hektar, sampai 2019 baru 77.560 hektar yang terealisasi. Sedangkan untuk TORA, data dari Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah menyebutkan, dari target 79.500 sertifikat, sampai 2017 baru 14.529 sertifikat yang terbit.
”Masalahnya klasik, administrasi belum dilengkapi. Ada yang belum punya kartu tanda penduduk, ada yang belum punya surat kepemilikan tanah, dan sebagainya. Meski demikian, kami tetap lakukan pengukuran tanah,” ujar Yansyah, Kepala Bidang Pendaftaran Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah.
Yansyah mengatakan, selain persoalan administrasi, juga ada problem kekurangan tenaga teknis dalam mengukur tanah masyarakat. Belum lagi ia juga kerap menemukan konflik pertanahan yang menghambat penyelesaian sertifikat. ”Kalau masih ada konflik, kami imbau untuk menyelesaikan terlebih dahulu, baru kita ukur,” ujar Yansyah. (IDO)