Mata Air Mulai Berkurang di Citarum
BANDUNG, KOMPAS - Gundulnya kawasan hulu dan berubah fungsinya hutan menjadi permukiman serta lahan tanaman sayur menjadi pemicu berkurangnya sumber mata air di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum. Ekosistem Citarum pun kini rusak. Mata air yang surut sebagian terganti dengan permukiman.
Hal itu menjadi masalah serius yang harus diperhatikan. Sungai Citarum yang merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat (297 kilometer) selama ini menjadi tumpuan hidup lebih dari 25 juta orang. Mereka tinggal di DAS Citarum.
Wakil Ketua Tim Satuan Tugas Pembenahan Sungai Mayor Jenderal TNI Doni Monardo di sela-sela kegiatan pembersihan hulu Sungai Citarum di Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Minggu (28/1), mengungkapkan keprihatinan tersebut.
”Warga Jawa Barat (Jabar) di bantaran Sungai Citarum ini terancam kehilangan sumber mata air. Ini persoalan serius. Sebab, Jabar dihuni lebih dari 40 juta orang dan menjadi provinsi penyangga Ibu Kota,” ujar Doni yang juga Panglima Daerah Militer III/Siliwangi.
Mengutip Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Puslitbangair) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, jumlah mata air di daerah cekungan Bandung (Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi) pada 2009 sebanyak 300 mata air. Sedangkan pada 2015, jumlah mata air menyusut lebih dari setengahnya, hanya tersisa 140 buah.
Dampaknya, debit air Sungai Citarum tidak stabil. Pada periode normal jumlah debit air mencapai 41 meter kubik per detik, tetapi saat musim hujan debit air melonjak menjadi 578 meter kubik per detik. Sementara saat musim kemarau, debit air sungai merosot hanya tersisa 2,7 meter kubik per detik.
Artinya, saat musim hujan air tidak terserap tanah, sebab lahannya sudah gundul berubah fungsi menjadi perumahan dan lahan tanaman sayur. Akibatnya, aliran hujan secara berlebihan masuk ke sungai dan mengakibatkan banjir. Setiap musim penghujan, tiga kecamatan di Kabupaten Bandung, yakni Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang selalu menjadi daerah langganan banjir akibat meluapnya Sungai Citarum. Ribuan rumah terendam 1-2 meter dan ribuan warga mengungsi.
Sementara saat kemarau terjadi kekeringan karena mata air yang seharusnya mengalir ke arus utama Sungai Citarum berkurang. Padahal, aliran Sungai Citarum mengaliri total 420.000 hektar lahan persawahan di Subang, Karawang, Purwakarta, hingga Indramayu. Minimnya debit air Sungai Citarum saat kemarau bisa memengaruhi panen di daerah lumbung padi nasional itu.
Aliran Sungai Citarum digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dari tiga waduk, yakni Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata. Keringnya Sungai Citarum dapat mengganggu produksi listrik sebesar 1.888 megawatt dari tiga waduk itu yang digunakan untuk menerangi ratusan juta orang di Jawa dan Bali.
Tidak hanya itu, sebanyak 80 persen air minum dan air bersih DKI Jakarta dipasok dari Sungai Citarum. Artinya, bila Sungai Citarum kering, hal itu bisa menyebabkan warga Ibu Kota kesulitan air minum.
Lahan kritis
Untuk mengetahui secara persis seberapa besar kerusakan lahan di DAS Citarum, Tim Satgas Pembenahan Citarum bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Kepala Bagian Administrasi Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) Lapan Winanto mengatakan, berdasarkan hasil pengambilan citra satelit 2017 lalu, terungkap lahan hutan primer yang tersisa di kawasan Sub-DAS Citarum Hulu tinggal 8,6 persen dari total lahan seluas 230.000 hektar.
”Kerusakan di hulu Sungai Citarum sudah parah sekali. Kalau di hulunya saja sudah rusak, dampak kerusakannya sampai ke hilirnya,” ujar Winanto.
Kerusakan hutan itu tidak hanya mengurangi timbulnya mata air, tetapi memicu tanah longsor. Selain itu, berubahnya hutan menjadi lahan tanaman sayur membuat sedimentasi sungai meningkat dan menjadi dangkal sehingga mudah meluap dan membanjiri permukiman warga. (BKY)