Inisiatif warga Dusun Senara, Desa Genggelang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, untuk mewujudkan kampungnya menjadi destinasi wisata patut diapresiasi. Dusun yang menjadi tempat awal budidaya tanaman kakao di Nusa Tenggara Barat ini tengah bersolek untuk menarik minat pengunjung menikmati produk olahan biji kakao sembari menyaksikan keindahan pesona alam Selat Lombok.
”Kami baru menata obyek ini, wisatawan belum banyak yang datang. Kalaupun mereka datang, paling-paling nanya-nanya sebentar, lalu pergi,” ujar Pardan (42), ketika kami memasuki Kampung Cokelat, Dusun Senara, Desa Genggelang, Lombok Utara, sekitar 54 kilometer utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, Sabtu (27/1) sore.
Hari itu Kampung Cokelat sepi pengunjung, hanya ada Pardan, Ketua Kelompok Tani Kakao Bunga Mekar Dusun itu, yang menemani beberapa pekerja di area yang merupakan jalur utama ke obyek wisata Rumah Pohon dan sejumlah obyek wisata air terjun, seperti Tiu Pituk dan Kerta Gangga, sehingga mengundang rasa penasaran wisatawan melihat Kampung Cokelat yang tertata apik.
Kampung Cokelat ini tidak ubahnya sebuah kebun mini cokelat seluas 4,8 hektar yang tengah dalam proses penataan sebagai obyek wisata Juli-Agustus 2017. Dana penataannya bersumber antara lain dari bantuan pemerintah. Di area itu ada 60 batang pohon cokelat yang tengah berbuah, dengan kulit buah berwarna cokelat dan kuning, dan kiri-kanannya dibatasi ”pagar hidup” yang menyejukkan mata.
Beberapa berugak (bale-bale) disediakan bagi pengunjung, kemudian dua bangunan baru selesai pengerjaannya: ruang informasi di pintu masuk-keluar dan satu lagi ruang toilet berada di bagian belakang area ini. Sebuah area yang disebut nursery—tempat budidaya benih tanaman cokelat, melengkapi kebun mini cokelat ini.
”Udaranya sejuk dan segar di sini ya,” ujar Reni (22), warga Kota Mataram, yang mampir di Kampung Cokelat setelah mengisi liburan akhir pekan di Rumah Pohon, yaitu pohon yang dilengkapi bale-bale atau gardu pandang untuk menyaksikan panorama sekitar areal persawahan yang mengitari perkampungan penduduk, sekaligus melihat birunya Selat Lombok dari kejauhan.
Menurut Pardan, ide dusun itu dijadikan obyek wisata karena letaknya berdekatan dengan beberapa obyek wisata tadi. ”Paling tidak wisatawan perlu cendera mata sebagai tanda pernah mengunjungi obyek ini. Terinspirasi dari kampung cokelat di Pulau Jawa, lalu kami coba membuat obyek wisata serupa di dusun ini,” kata Pardan.
Untuk mewujudkan ide itu, Pardan bersama anggota dan masyarakat menyisihkan dana, selain menunggu uluran tangan pemerintah, untuk membeli mesin dan peralatan pengolahan cokelat yang nantinya dijadikan oleh-oleh bagi para pengunjung.
Terlebih lagi Dusun Senara dan tujuh dusun lainnya adalah sentra tanaman perkebunan dan buah-buahan. Itu terlihat dari pohon manggis, durian, dan rambutan narmada (buah unggulan nasional umumnya dibudidayakan di Kecamatan Narmada, Lombok Barat) yang sedang berbuah. Pemandangan itu menghiasi sebagian besar pekarangan rumah warga. Rambutan narmada bisa dibeli di pedagang buah pinggir jalan dusun itu seharga Rp 12.000 per kg.
Jalan menuju kampung sepanjang 5 km beraspal hotmiks. Di sepanjang jalan areal perkebunan dijejali tanaman kakao diselang-selingi tanaman durian, rambutan, pisang, dan kelapa—sebagai tanaman pelindung. Pardan dengan bangga menuturkan, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggolongkan produk kakao dusun itu sebagai grade A, nyaris setara biji kakao asal Pantai Gading, Brasil, dan Ghana yang menjadi bahan baku pembuat cokelat terkenal di seluruh dunia. Ini karena efek beragam tanaman pelindung dan faktor geografis tempat pohon kakao tersebut ditanam.
Budidaya kakao di Desa Genggelang bermula tahun 1990 di areal sekitar 300 ha, dengan produksi 1,2 ton per tahun. Harga jualnya di pengepul Rp 23.000-Rp 25.000 per kg dan biji kako fermentasi Rp 30.000-Rp 35.000 per kg, yang biasanya dikirim ke Bali.
”Kami baru bisa jual mentahan, setahun lagi setelah peralatan tiba, anda bisa bawa oleh-oleh cokelat dari sini. Ya sekarang jalan-jalan saja dulu di kebun cokelat sebab dusun kami adalah pelaku sejarah dimulainya budidaya tanaman cokelat di NTB,” kata Pardan.