SEMARANG, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berencana menawarkan saham sejumlah aset daerah seperti pengolahan air bersih, pasar ritel, dan pengelolaan rumah sakit untuk ditawarkan ke publik dalam bentuk obligasi daerah.
Obligasi daerah ini akan menjadi salah satu instrumen pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Kepala Bagian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Penilaian Perusahaan non-Pabrikan, Ludy Arlianto, Kamis (1/2) di Semarang mengemukakan, OJK mendorong pemanfaatan obigasi daerah oleh pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Dengan obligasi daerah, pemerintah daerah bakal mampu melakukan akselerasi pembangunan tanpa harus bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Untuk menerbitkan obligasi daerah, pemda harus memiliki kesiapan pranata termasuk payung hukum. Harus ada peraturan daerah dan memperoleh persetujuan dari DPRD,” ujar Ludy Arlianto di sela-sela peluncuran Pusat Kontak Obligasi Daerah di Semarang, Jawa Tengah.
Ludy menyebutkan, tiga aset daerah yang akan ditawarkan berada di sejumlah daerah. Meski begitu, pihaknya belum dapat menjelaskan detail soal sejumlah perusahaan daerah itu. Pasalnya, bisa saja aset diganti apabila tidak memenuhi studi kelayakan untuk ditawarkan ke publik.
Kepala Grup Penelitian, Pengaturan dan Pengembangan Pengawasan Terintegrasi OJK, Ghontor R Aziz mengatakan, untuk mendorong pengembangan obligasi daerah, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan OJK telah membentuk Tim Fasilitasi dan Pendampingan Obligasi Daerah.
Tugas utama tim ini untuk meningkatkan kapasitas dan kesiapan internal pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dalam penerbitan obligasi daerah.
Tim dapat memberikan pendampingan ke pemerintah daerah sejak awal proses persiapan meliputi hal-hal teknis seperti pemilihan dan penyiapan kegiatan atau proyek yang akan didanai.
Tim tersebut juga bertugas membantu penyiapan mekanisme penganggaran, manajemen pengelola, dan pemenuhan persyaratan pernyataan pendaftaran penerbitan obligasi.
“Obligasi daerah itu nantinya ditawarkan ke publik, peserta boleh dari perusahaan, perorangan maupun pihak ketiga yang mampu dan berminat dalam proyek yang akan ditawarkan oleh pemerintah daerah. Nilai proyek tentu bervariasi, sangat tergantung dari hasil studi kelayakan dan kajian,” ujar Ghontor.
Supaya kontrol pengawasan berjalan baik, dia mengingatkan pemerintah daerah tidak sembarangan menerbitkan obligasi daerah. Oleh karena itu, selain disetujui DPRD, penerbitan juga mesti mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri serta instansi terkait lain.
Selain Jateng, sejumlah daerah juga menjajaki penerbitan obligasi daerah sebagai instrumen pembiayaan di luar APBD. Mereka di antaranya Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Khusus untuk Jateng, OJK memperkirakan paling lambat obligasi daerah terbit pada 2019.
Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia di Semarang Fanny Rifki menambahkan, obligasi sedang banyak dilirik menjadi alternatif pembiayaan oleh sejumlah pemerintah daerah.
Data BEI, saat ini terdapat 566 emiten dan 114 penerbitan surat obligasi daerah.
Nilai obligasi daerah juga terus meningkat. Pada 2017 nilai investasi obligasi daerah mencapai Rp 15,9 triliun, atau naik 20,67 persen dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp 7,5 triliun.