Lagi, Satu Pasien Meninggal
Direktur RSUD Agats Riechard Mirino, Rabu, mengatakan, selain gizi buruk, Tarjun menderita radang saluran pernapasan dan malaria. Saat dibawa ke RSUD Agats, Selasa, ia tidak sadarkan diri.
Dengan demikian, jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk dan penyakit infeksi sejak September 2017 hingga 31 Januari 2018 berjumlah 72 orang.
”Saat ini pasien terus berdatangan karena tim kesehatan baru menemukan mereka di kampung. Sebelumnya, mereka sedang di hutan,” ujar Riechard.
Anak-anak sering dibawa orangtua ke hutan untuk mencari kayu gaharu. Akibatnya, imunisasi tidak mencapai target. Saat anak sakit parah, baru dibawa ke puskesmas atau ke RSUD Agats.
Anak-anak bermasalah dengan saluran pernapasan akibat terpapar asap dari tungku rumah dan orangtua merokok sambil menggendong anak.
Pasien yang sudah menjalani perawatan dan boleh pulang rentan menderita berbagai penyakit lagi. Penyebabnya, pola hidup dan kondisi lingkungan mereka tidak memadai.
Di Kampung Yepem, Distrik Agats, misalnya, warga tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus memadai. Sebagian besar warga buang air di hutan dan sungai.
Kalaupun ada yang memiliki jamban, tidak ada septictank. Tinja langsung jatuh ke tanah. Saat air pasang, tinja masuk ke sungai yang juga menjadi sumber air minum.
Salah satu warga, Klementina (34), anaknya Apolonia (4 bulan) sempat dirawat di RSUD Agats karena campak. Rumah Klementina tidak ada jamban. Dinding rumahnya berlubang-lubang dan tidak ada kelambu. Nyamuk malaria leluasa menggigit mereka.
Kepala Kampung Yepem Leonardus, mengatakan, hampir setahun tak ada petugas kesehatan di Yepem. Warga sulit berobat dan tidak ada yang membimbing untuk pola hidup sehat.
Otsus bermasalah
Sementara itu, penerapan otonomi khusus (otsus) dinilai bermasalah karena belum ada peta jalan yang jelas mengenai pembangunan. Pembangunan yang dilakukan selama puluhan tahun tidak memperhatikan nilai sosial dan budaya masyarakat setempat.
Antropolog Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto, di Depok, Rabu, mengatakan, pembangunan Papua yang dilakukan sejak Orde Baru mengubah pola hidup masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat memiliki tingkat keragaman tinggi baik dari segi etnis, mata pencarian, maupun perkembangan peradaban.
Era 1980-an, pemerintah memindahkan tempat hidup masyarakat dari hutan ke perdesaan. Di perdesaan, pemerintah membangun wilayah permukiman dengan batas administrasi berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk. Padahal, di hutan, pembatasan daerah permukiman didasarkan pada kelompok keluarga dan kesamaan kultur.
”Pemindahan hanya mempertimbangkan persoalan administratif wilayah, tidak mempertimbangkan dasar sosial dan kultural masyarakat,” ujar Semiarto.
Pembangunan dengan semangat modernisasi memperkenalkan sistem pengobatan modern. Masyarakat diminta beralih dari sistem pengobatan tradisional ke rumah sakit dengan layanan dokter dan obat modern. Dampaknya, pengetahuan lokal yang dimanfaatkan selama ribuan tahun dari generasi ke generasi menjadi hilang.
Selain pola permukiman dan sistem layanan kesehatan, masyarakat Papua juga mengalami tantangan perubahan bahan makanan pokok. Selama ini, warga pegunungan mengonsumsi ubi dan warga pesisir mengonsumsi sagu. Lauknya ikan atau binatang buruan.
Sejak pemindahan tempat tinggal dari hutan ke kampung, masyarakat dikenalkan pada beras sebagai bahan makanan pokok. Hal itu memunculkan masalah, karena masyarakat tidak mengenal maupun dikenalkan pada budaya penanaman padi.
Menurut Semiarto, seharusnya pembangunan di Papua tidak meninggalkan aspek-aspek sosial dan budaya yang telah mengakar ribuan tahun. Proses peralihan hidup masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan mendapat pendampingan intensif.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, negara harus hadir dalam upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat.
Ada empat fokus utama dalam upaya penanggulangan KLB, yakni kesehatan, sosial budaya, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan. Untuk itu, pemerintah akan membentuk satuan kerja khusus untuk menangani hambatan percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua. (ESA/DD01/DD18)