”Perang”Syair di Panggung Didong
”Ilang ko bantal ilang, ijo ko bantal ijo/ I tehen ko ini dere mu runcang/Ilang ko bantal ilang, ijo ko bantal ijo/ I tehen ko ini dere ni bujang/Bujang paria, ini nge mu gelong/ Penonton mu keromong keleleng arena/Festival kopi gayo urang turis I undang/ buge kati berkembang petani gayo antara…”.
(Merah kau bantal merah/Hijau kau bantal hijau/tahanlah ini pukulan berguncang/merah kau bantal merah/hijau kau bantal hijau/tahanlah pukulan lelaki muda/ini sudah tergulung/penonton penuh keliling arena/festival kopi gayo orang luar negeri diundang/ semoga tambah berkembang petani gayo antara…).
Selanjutnya, bait demi bait mengalir. Hampir 20 menit berlalu, puluhan bait telah dinyanyikan. Syairnya beragam, mulai dari topik kopi hingga kehidupan sehari-hari.
Ada kalanya isi syair terdengar lucu dan menyentil grup lawan. Penonton pun tertawa. Mereka terpukau. Gerimis yang turun pada malam itu tak membuat warga beranjak pergi.
Di hadapan mereka, grup lawan dari desa tetangga, dipimpin oleh Ceh Purnama, menyimak dengan saksama. Saat Ceh Mukti menyanyikan bait demi bait, saat itu pula Ceh Purnama menyiapkan syair balasan. Kisi-kisi syair balasan ditulisnya di atas buku di pangkuannya.
Pada gilirannya, ceh harus mampu membalas dengan syair-syair memukau, minimal bikin penonton tertawa. Jika tak berhasil menghibur penonton, bisa dikatakan grup itu kalah. Malunya setengah mati.
Festival kopi
Selama dua hari, Desember lalu, warga Desa Gunung Suku merayakan festival panen kopi. Kegiatan ini digelar oleh komunitas warga, pegiat seni, dan pemerintah. Beragam kegiatan digelar, tetapi pentas didong yang paling ditunggu-tunggu.
Bagi warga Gayo, pesta sebesar apa pun terasa hambar apabila tanpa pertunjukan didong.
Didong merupakan seni tutur tradisional masyarakat Gayo, memadukan seni sastra, suara, dan tari sekaligus. Seluruh syair diiringi musik khas tanpa alat musik, yaitu tepukan tangan. Kekuatan didong terletak pada ketangkasan ceh merangkai isi syair dan kepiawaian menyanyikan. Syair harus dinyanyikan mengikuti pola irama tertentu.
Setiap kelompok biasanya terdiri atas 20 orang. Kebanyakan anak muda, kecuali sang ceh yang biasanya berusia lanjut. Ceh didong didampingi dua penyair pendukung yang disebut apit.
Saat ceh melantunkan syair, anggota grup mengiringi dengan musik. Mereka menggerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan sambil bertepuk tangan. Musik dan tari berpadu harmonis. Diawali gerakan lambat, sesaat kemudian gerakan bisa sangat cepat dan dinamis. Bisa dibilang, ratusan syair baru tercipta tiap malam.
Isi syair tidak boleh sembarangan. Bait demi bait harus saling terkait. Isinya menjadi balasan dari syair lawan. Tak jarang isi syair meledek grup lawan, tetapi harus tetap santun.
Ceh tidak boleh mengulang syair yang pernah dibawakan pada pentas-pentas terdahulu.
”Karena itu, ceh harus berwawasan luas, cerdas, dan banyak membaca,” kata Mukti.
M Junus Melalatoa dalam buku Didong Pentas Kreativitas Gayo (2001) menyebutkan, didong adalah seni kompetitif yang menuntut ceh melahirkan puisi-puisi terbaik. Dia memperkirakan ribuan bait puisi didong telah tercipta di Dataran Tinggi Gayo. Bisa dibilang ini tradisi tutur paling dinamis. ”Didong terus tumbuh, berubah, dan berkembang,” katanya.
Bukan sekadar hiburan
Didong dalam sejarahnya lahir dalam kisah kerajaan Islam pertama di Aceh, Linge. Saat itu, anak Raja Linge XIII, Sengeda, membangunkan gajah putih, jelmaan adiknya, dari pembaringan, dan bertolak menuju Kerajaan Aceh di Banda Aceh. Pengikut Sengeda mengikuti perjalanan gajah putih itu sambil mengucapkan kata ”enti dong, enti dong, enti dong”. Artinya, jangan berhenti, jalan terus.
Ada yang memaknai didong sebagai dendang, nyanyian ungkapan rasa senang yang diiringi bunyi-bunyian. Ada pula yang berpendapat, didong berasal dari kata din (agama) dan dong (dakwah).
Kesenian didong awalnya dimanfaatkan sebagai sarana menyebarkan agama. Para ceh didong tak hanya menyampaikan seni tutur, tetapi juga menyampaikan tuntunan hidup sesuai nilai-nilai Islam. Dalam perkembangannya, didong terus mengalami perubahan dan penambahan kreasi.
Kesenian ini ikut mewarnai sejarah kehidupan orang Gayo, yang menempati dataran tinggi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, hingga sebagian kecil Aceh Timur. Seniman dan budayawan Gayo, Fikar W Eda, masih ingat didong kerap dimainkan di bawah rumah panggung kakeknya sebagai hiburan untuk warga sekitar. Didong kerap tampil pada pesta pernikahan, pesta panen, dan berbagai momen penting perjalanan hidup masyarakat.
Kini, didong berkembang menjadi atraksi pariwisata, perekat sosial, perlawanan, dan aktualisasi dinamika di daerah.