Bagi sebagian orang, koran menjadi kebutuhan yang harus dinikmati setiap hari. Keberadaan loper koran tetap penting dalam keseharian kita. Umumnya, loper menggunakan sepeda motor, tetapi sampai sekitar pertengahan 1980-an masih banyak loper yang menggowes sepeda, bahkan berjalan kaki untuk mencapai rumah sang pelanggan koran. Selain cuaca, tindakan kejahatan juga jadi ancaman loper. Kompas yang terbit Rabu, 12-4-1967 halaman 2, memberitakan tentang seorang loper yang justru dipukul petugas keamanan di Jalan Ir H Juanda, Jakarta, karena menolak dipalak. Nandang, loper di Bandung, sepedanya dirampas tiga pemuda, termasuk sejumlah koran yang harus dia antar ke rumah para pelanggan di kawasan Bale Endah. Pagi sehabis subuh itu, dia baru mengambil koran dari rumah agen di Cigelereng.
Setia melaksanakan tugas adalah motto Tasman Abduldjalil (77) yang menjadi loper selama 61 tahun di Semarang. ”Saya masuk tahun 1924, masih bujangan. Waktu itu saya dites oleh Belanda dan langsung diterima.” Meskipun sudah beranak-bercucu, Tasman tetap bekerja. ”Saya tak mau merepotkan anak-cucu. Lumayan buat tambah beli jajan buyut saya,” kata Tasman yang bercicit 12 orang ini. Dia tak sendiri, banyak loper yang setia mengantar koran meski sudah berusia lanjut, seperti Achmad (77), juga di Semarang. Ada lagi loper di Jombang, Liem Swan Bing atau Harjo Wirono (70). Pak Harjo senang menjadi loper karena hubungannya dengan para pelanggan seperti teman. Sementara Mudjiono (16), pelajar Sekolah Teknik di Tulungagung, Jawa Timur, menjadi loper untuk membiayai sekolah.
Para penjaja koran pun tak putus asa menawarkan dagangannya. Simak teriakan mereka yang menggambarkan situasi Tanah Air pada 1969. ”Gadis-gadis elite pada bosan main di bar-bar. Sekarang mereka pindah ke Planet” atau ”Jango-jango di Amerika pada demonstrasi. Kuda-kudanya kurus-kurus karena bulgur diekspor ke Indonesia”.
Semoga Anda tetap setia menikmati koran pagi sebelum beraktivitas. Selamat menyambut Hari Pers Nasional pada 9 Februari mendatang.