BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh mengusulkan 145.250 hektar kawasan hutannya menjadi hutan adat. Hutan adat yang diusulkan itu berada di 13 wilayah di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Pidie. Pengelolaan hutan adat nantinya melibatkan warga untuk meningkatkan pendapatan warga di sekitar kawasan tanpa merusak fungsi hutan.
Juru Bicara Pemprov Aceh Wiratmadinata, Minggu (4/1) di Banda Aceh, mengatakan, surat usulan telah dikirimkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 22 Januari 2018. Surat itu ditandatangani oleh Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Dari luas wilayah hutan adat yang diusulkan tersebut, 144.497 hektar (ha) berada dalam kawasan hutan dan 753 ha berada di luar kawasan hutan. ”Tanggapan Menteri LHK sangat positif. Penetapan hutan adat penting agar tidak ada benturan antara masyarakat adat dan pemerintah terkait pengelolaan hutan,” kata Wiratmadinata.
Ke-13 wilayah hutan adat tersebut berada di empat wilayah di Aceh Besar, empat di Aceh Barat, tiga di Pidie, dan dua di Aceh Jaya. Pemprov Aceh juga akan mengusulkan wilayah di kabupaten lain.
”Kami masih diberi waktu untuk terus melakukan konsolidasi usulan baru. Tidak ada batas waktu, tetapi semakin cepat semakin baik agar masyarakat adat dapat mengelola hutan dengan baik,” ucap Wiratmadinata.
Wiratmadinata menambahkan Pemprov Aceh menilai sejatinya masyarakat adat sudah sejak lama mengelola hutan, tetapi perlu pengakuan oleh negara. ”Prinsipnya pengelolaan hutan adat untuk meningkatkan kesejahteraan warga yang berada di sekitar kawasan tanpa mengubah fungsi hutan,” ujar Wiratmadinata.
Alasan mengusulkan 13 wilayah tersebut karena kawasan itu didiami masyarakat yang secara turun temurun menggantungkan hidup pada potensi hutan, seperti mengambil madu dan menanam pohon buah.
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Arma mengatakan, pengajuan hutan adat oleh Pemprov Aceh adalah langkah maju. Meski terbilang terlambat pascaputusan MK tahun 2012, pihaknya tetap memberikan apresiasi. ”Masyarakat adat kembali berdaulat atas hutannya,” kata Zulfikar.
Selama ini, kawasan hutan dikuasai oleh negara yang kemudian memberikan izin kepada perusahaan dan menafikan keberadaan masyarakat adat. Akibatnya, kerap terjadi konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat dan perusahaan.
Zulfikar meyakini, dengan adanya pengakuan hutan adat, masyarakat adat semakin bersemangat mengelola dan menjaga hutan. Hukum adat yang berkaitan dengan hutan akan kembali diterapkan dan lembaga adat akan kembali berfungsi.
Pengelolaan hutan adat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Masyarakat dapat mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti penggunaan jasa lingkungan, ekowisata, dan lainnya.
”Ini adalah momentum bagi Aceh untuk mengusulkan lebih banyak kawasan hutan adat. Pemerintah harus percaya kepada masyarakat adat bahwa mereka bisa mengelola dan menjaga hutan,” kata Zulfikar. (AIN)