BANDUNG, KOMPAS — Keberadaan potensi energi di sejumlah daerah potensial mendukung keberadaan tol listrik guna mengatasi masalah elektrifikasi di Indonesia. Penerapannya bisa ditempuh dengan memanfaatkan peranan teknologi elektronika daya. Tantangan terbesarnya adalah kebutuhan biaya yang tinggi untuk mewujudkan hal itu.
Hal ini dikatakan Prof Pekik Argo Dahono saat memberikan orasi ilmiah berjudul Peranan Elektronika Daya dalam Sistem Ketenagalistrikan yang Berkelanjutan dalam acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/2). Turut hadir Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Elektronika daya mempelajari penggunaan teknologi dalam konversi daya listrik. Aplikasi ini nantinya berperan dalam pengolahan atau pemrosesan energi listrik, yakni mengubah daya listrik dari satu bentuk ke bentuk lain. Sistem ini, kata Pekik, sangat ideal mendukung keberadaan tol listrik yang bakal mengintegrasikan antarpembangkit listrik menggunakan kabel laut.
”Elektronika daya merupakan kunci sistem tol listrik atau jaringan listrik terintegrasi. Setiap daerah atau pulau akan terhubung dalam satu sistem lewat kabel laut. Harapannya, lewat tol listrik, daerah yang kekurangan listrik dapat memperoleh pasokan dari daerah lain,” kata Pekik.
Menurut Pekik, saat ini kondisi sistem kelistrikan di Indonesia terdiri atas banyak sistem yang terpisah. Akibatnya, setiap daerah harus memiliki pembangkit sendiri yang tidak bersinergi dengan daerah lain. Kondisi itu memengaruhi elektrifikasi di Indonesia yang baru mencapai 94 persen, terutama di luar Jawa.
Ia mencontohkan, hampir semua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Jawa memerlukan pasokan batubara dari Sumatera dan Kalimantan. Selain mahal dan tidak andal, cara ini tidak mendorong pemerataan pembangunan antardaerah.
Metode itu ke depan bisa disempurnakan. PLTU besar, dengan kapasitas di atas 500 megawatt, cukup dibangun di mulut tambang batubara sehingga lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Listrik dari PLTU itu lalu disalurkan ke daerah lain lewat distribusi yang terintegrasi. ”Setiap daerah bisa mengembangkan potensi energi yang dimiliki untuk menunjang elektrifikasi di Indonesia,” katanya.
Pekik mengatakan, tantangan utama pembangunan sistem tol listrik itu ialah biaya yang mahal. Dia mencontohkan pembangunan kabel laut yang membutuhkan biaya konstruksi tinggi saat harus dibangun di kawasan Indonesia timur yang punya banyak palung laut.
”Kebutuhan konverter dan inverter daya (pengubah arus listrik) dalam transmisi pun biayanya mahal karena di Indonesia belum ada pabriknya sehingga harus impor. Industri lokal belum terlalu menguasai teknologi ini,” ujar Pekik.
Akan tetapi, dia optimistis, jika pemerintah dapat merealisasikan proyek tol laut dan pembangunan palapa ring atau tol telekomunikasi, yaitu pembangunan jaringan fiber optik dari Sabang sampai Merauke, tol listrik bisa terealisasi. ”China dan Australia sudah menggagas tol listrik. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa juga membangun,” kata Pekik.
Arief Yahya setuju dengan gagasan tol listrik. Dengan penerapan tol listrik, aktivitas industri, termasuk pariwisata, bakal lebih efisien. ”Namun, memang biayanya mahal sehingga perlu dihitung betul berapa biaya untuk membangun jaringannya secara nasional,” kata Arief. (SEM)