SIDOARJO, KOMPAS — Sebanyak 353 (seluruh) desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, belum menerima dana desa tahun 2018 untuk termin pertama sebesar 20 persen. Padahal, sesuai instruksi presiden, pencairan tahap pertama itu dilakukan maksimal minggu kedua Januari 2018. Kondisi itu dipicu belum selesainya penyusunan APBDes oleh perangkat desa.
Akibatnya, operasional desa terancam macet, honorarium perangkat belum terbayar, dan program padat karya tak bisa jalan. Jika dibiarkan berlarut, bisa berdampak terhadap program pemerintah di desa. Contohnya, pada 25 Maret mendatang akan berlangsung pemilihan kepala desa serentak di Sidoarjo, dan sejumlah tahapan telah dimulai tahun lalu.
Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa Sidoarjo Heru Sulthon mengatakan, agar operasional desa tetap berjalan dan pelayanan masyarakat tidak terganggu, setiap desa telah berupaya mencari jalan keluar. Salah satunya meminjam dana dari pihak lain untuk membeli alat tulis dan membiayai kegiatan administrasi umum. ”Desa berharap Pemkab Sidoarjo membantu mencarikan solusi, karena keterlambatan pencairan ini tidak semata-mata disebabkan oleh pihak desa,” ujar Heru, Senin (5/2).
Heru mengatakan, keterlambatan penyusunan APBDes bukan disengaja, melainkan disebabkan oleh munculnya aturan-aturan atau kebijakan baru sehingga diperlukan penyesuaian melalui sejumlah revisi. Contohnya, Desa Suwaluh, Balongbendo, tahun lalu dialokasikan Rp 800 juta. Akan tetapi, tahun ini direncanakan dana desa yang diperoleh berkurang Rp 150 juta menjadi Rp 650 juta. Oleh karena itu, penyusun APBDes 2018 yang telanjur mengacu pada asumsi dana cair Rp 800 juta harus direvisi.
Persoalan lain yang menghambat penyusunan APBDes tahun ini adalah keluarnya Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 530 Tahun 2017 yang menyatakan setiap anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) mendapat tunjangan Rp 900.000 per bulan. Di setiap desa terdapat lima hingga sembilan anggota BPD sesuai luas wilayah dan jumlah penduduk.
Jika peraturan itu diterapkan, setiap desa harus menganggarkan Rp 4,5 juta hingga Rp 8,1 juta per bulan atau Rp 54 juta- Rp 100 juta per tahun. Itu baru honor anggota BPD, belum honorarium untuk perangkat desa yang jumlah orangnya jauh lebih banyak. Jika diterapkan, dana desa habis untuk honorarium dan biaya operasional.
Pemerintah pusat telah menetapkan aturan penggunaan dana desa, yakni minimal 70 persen untuk pembangunan dan maksimal 30 persen untuk operasionalisasi, termasuk membayar honor kepala desa, perangkat desa, dan BPD. Pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga sudah menetapkan empat program pembangunan prioritas yang dibiayai dana desa.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Keluarga Berencana (PMDP3AKB) Sidoarjo Ali Imron menyebukan, hingga saat ini baru sebagian kecil desa yang menyelesaikan penyusunan APBDes 2018. Pihaknya terus berupaya mendorong pemerintah desa yang belum menyelesaikan tugasnya agar segera bekerja.
Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp 60 triliun anggaran dana desa untuk disalurkan kepada 74.958 desa di Indonesia pada 2018. Berbeda dengan tahun lalu, mekanisme pencairan dana desa saat ini terbagi dalam tiga termin, yakni termin pertama 20 persen pada bulan Januari, termin kedua 40 persen pada Maret, dan sisanya 60 persen bulan Agustus. (NIK)