KUPANG, KOMPAS — Sosialisasi oleh 14 calon petahana untuk calon gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati di Nusa Tenggara Timur dinilai mengabaikan pelayanan publik. Hal itu mengingat kini belum saatnya berkampanye. Sosialisasi oleh petahana juga mengindikasikan bahwa selama memimpin, mereka tidak dikenal masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) NTT Marthen Mulik di Kupang, Selasa (6/2), mengatakan, tercatat 14 petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah di NTT.
”Bupati dan wakil bupati yang sama-sama mencalonkan diri untuk periode berikutnya diduga telah mengabaikan pelayanan publik. Sebanyak 14 laporan warga NTT ke YLKI, periode 2 Januari sampai 3 Februari 2018, terkait air bersih, kesehatan, dan pendidikan. Bidang-bidang ini kurang diperhatikan pemda akhir-akhir ini,” kata Mulik.
Anggota DPRD Sumba Barat Daya, David Ramone, mengingatkan, Menteri Dalam Negeri harus tegas mengeluarkan peraturan khusus bagi petahana. Banyak pelanggaran oleh petahana terkait pencalonan mereka. Kendaraan dinas dimanfaatkan untuk sosialisasi, tetapi mereka beralasan melakukan kunjungan kerja. Juga, dana bantuan sosial digunakan untuk ”membeli” suara.
”Sebaiknya Bawaslu atau Panwaslu bertindak lebih tegas. Jika belum saatnya kampanye, siapa pun, termasuk calon petahana, tidak boleh melakukan kegiatan yang bernuansa menarik masyarakat untuk mendukung mereka,” kata Ramone.
Dari Temanggung dilaporkan, sejumlah warga penyandang disabilitas intelektual, yang sebenarnya punya hak pilih dalam pilkada serentak 2018, ditolak untuk didaftar sebagai pemilih justru oleh keluarga mereka. Fenomena itu terekam saat kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh KPU Kabupaten Temanggung, Selasa (6/2).
”Kepada PPDP (petugas pemutakhiran data pemilih ) yang datang ke rumah, pihak keluarga mengatakan, mereka tidak perlu didata karena tidak mungkin bisa menggunakan hak pilihnya,” ujar Komisioner KPU Kabupaten Temanggung, Agus Istanto.
Namun, menurut Agus, mengacu pada ketentuan tentang data pemilih, semua warga yang berusia 17 tahun tetap didata sebagai pemilih. Pada tahap selanjutnya, apakah pemilih mau menggunakan hak pilihnya atau tak terserah kepada yang bersangkutan.
PPDP juga menemukan beberapa warga yang mengalami gangguan jiwa. Namun, mereka pun tetap dimasukkan dalam daftar pemilih. (KOR/EGI)