SURABAYA, KOMPAS — Kantor pusat informasi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreements) segera dibangun di Surabaya, Jawa Timur. Kantor itu diharapkan bisa memberikan informasi kepada pengusaha di Jatim untuk memetakan potensi pasar ekspor.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jatim M Ardi Prasetiawan, saat Peringatan Ulang Tahun Ke-3 Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha (Forkas) Jatim, Rabu (7/2), di Surabaya, mengatakan, kantor free trade agreements (FTA) akan dibuka pada bulan Mei.
Kantor ini berfungsi untuk memberikan penjelasan kepada eksportir di Jatim terutama mengenai perjanjian dagang antara Indonesia dan negara lain. Peluang dan potensinya, termasuk berbagai insentif yang diberikan oleh negara yang bersepakat melakukan kerja sama FTA.
”Eksportir harus tahu insentif yang diberikan oleh negara lain yang sudah melakukan perjanjian kerja sama dengan Indonesia. Dengan demikian, eksportir menjadi lebih cermat mencari tujuan ekspor yang lebih menguntungkan bagi bisnis dan komoditasnya yang diperdagangkan,” katanya.
Menurut Ardi, belum semua pasar ekspor yang ada potensial untuk digarap oleh pengusaha di Jatim. Mereka harus lebih tepat sasaran ekspor yang menguntungkan karena beberapa negara tujuan ekspor justru memberikan disinsentif. Misalnya saja, bentuk disinsentif itu adalah pengenaan pajak khusus kepada Indonesia.
Beberapa di antaranya, pasar logam mulia ke Amerika Serikat dan Dubai yang mengenakan pajak 5 persen. Sementara ada pasar logam mulia, yakni ke Singapura atau China, tidak dikenai pajak.
”Eksportir bisa berkonsultasi dan melihat perjanjian dagang guna melihat negara potensial untuk komoditasnya masing-masing. Hal ini jika jeli dilihat oleh para pengusaha, akan meningkatkan nilai ekspor dari Jatim karena negara tujuan yang akan mereka masuki lebih menguntungkan,” ujar Ardi.
Selama 2017, nilai ekspor Jatim mencapai 19,61 miliar dollar AS, naik 3,49 persen dari tahun 2016 yang mencapai 18,95 miliar dollar AS. Namun, nilai ekspor Jatim masih kalah dibandingkan dengan Jawa Barat yang mencapai 29,18 miliar dollar AS.
Sementara komoditas andalan Jatim adalah logam mulia, minyak mentah, dan tembaga. ”Presiden ingin eksportir di Jatim menggarap pasar Asia Selatan, seperti India dan Nepal, karena potensinya sangat besar. Namun, sayangnya, sampai saat ini belum digarap dengan maksimal,” kata Ardi.
Ketua Forkas Nur Cahyudi mengatakan, persoalan lain yang membuat potensi ekspor kurang tergarap optimal karena pengupahan yang tinggi. Hal ini menjadi permasalahan yang membuat daya saing industri dalam negeri kalah dari negara lain. Upah yang lebih tinggi ketimbang negara lain, seperti Vietnam, membuat harga produk dari Indonesia lebih mahal.
”Kami sedang meminta pemerintah menetapkan upah minimum kabupaten sesuai kapasitas industri dari industri usaha kecil menengah, padat karya, hingga padat modal. Ketiga industri itu tidak bisa disamakan pengupahannya karena kemampuannya berbeda,” kata Nur Cahyadi yang juga menjadi anggota Pokja IV Penanganan dan Penyelesaian Kasus, Kementerian Koordinator Perekonomian.
Pengamat ekonomi Kresnayana Yahya menilai, eksportir saat ini harus berinovasi untuk mengembangkan produknya. Potensi Indonesia dibandingkan dengan negara lain terletak pada kualitas dan inovasi produk yang terus diminati pasar ekspor. ”Desain harus menyasar kepada anak muda karena jumlahnya sangat banyak,” katanya. (SYA)