Kalau di Bogor, Jawa Barat, ada Puncak sebagai obyek wisata pegunungan. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pun ada obyek wisata kawasan hutan Pusuk di perbatasan Lombok Barat dan Lombok Utara.
Pusuk adalah kata dalam bahasa Sasak yang berarti puncak karena ketinggiannya sekitar 800 meter di atas permukaan laut, tertinggi dibandingkan desa-desa sekitarnya.
Kawasan hutan yang ditempuh dalam tempo 20 menit dari Kota Mataram, Lombok, ibu kota Provinsi NTB, itu relatif masih terjaga kelestarian populasi pohon dan vegetasi lainnya yang kemudian menghadirkan suasana adem.
Dari tempat ini, pengunjung bisa menikmati obyek wisata pantai di Lombok Utara, seperti Pantai Sire yang berpasir putih.
Di kawasan yang masuk wilayah hutan Rinjani barat dengan luas 43.000 hektar itu terdapat 162 jenis pohon.
Namun, uniknya, kawasan hutan lindung Pusuk ini adalah habitat kera abu-abu ekor panjang (Macaca fascicularis).
Kawanan monyet biasanya bergerombol di pinggir jalan berkelok di kawasan itu yang tengah menanti pengunjung memberikannya makanan.
Berbagi makanan dengan kera-kera itu dirintis tahun 1990-an, menyusul Dinas Pariwisata Lombok Barat (ketika Lombok Utara masuk wilayah Lombok Barat), yang ingin memberikan alternatif bagi wisatawan yang berkunjung ke Lombok.
Aparat dinas secara rutin membawa makanan, seperti pisang dan roti, untuk kera-kera itu. Agar memudahkan pengunjung mengambil gambar, kera-kera ini dibuatkan patok batas hutan (pal) dari beton sebagai tempat nongkrong penghuni hutan itu.
Belakangan, kebiasaan memberi ”umpan” itu diikuti para pengunjung agar kera-kera itu unjuk penampilan di tempat yang disediakan.
Di pihak lain, kera-kera itu keluar dari ”sarang”-nya akibat semakin miskinnya kawasan hutan itu oleh vegetasi dan tegakan pohon, seperti mahoni, garu, dan sonokeling, yang dibabat oknum perambah hutan.
Akibatnya, hampir tiap tahun terjadi longsor dan pohon tumbang yang bikin macet arus lalu lintas dari selatan (Kota Mataram) ke wilayah utara (Lombok Utara) yang melintas di kawasan itu.
Karena itu, pola hidup kera-kera itu ikut berubah: mereka tidak lagi mendapatkan bahan pakan di kawasan hutan, tetapi juga menunggu pemberian para pengendara, wisatawan lokal, domestik, dan wisatawan asing yang melintasi kawasan itu.
”Ndak perlu takut Pak, monyet-monyet ini jinak, bersahabat, dan seakan tahu dirinya menjadi tontonan,” ujar Andi, pelayan sebuah kafe di Pusuk, saat seorang tamunya hendak memberikan sebungkus kacang rebus kepada dua kera yang melintas di area kafe itu.
Bagi yang enggan bermain dengan monyet bisa meluangkan waktu beristirahat atau menikmati suasana sejuk dan asri di bawah rimbunan pohon di hutan Pusuk.
Pengunjung bisa juga jalan-jalan keliling menikmati keindahan laut Lombok Utara dan perkampungan penduduk, mencicipi air nira yang dijual para pedagang di pinggir jalan kawasan itu. Selain itu, mereka juga menyaksikan tingkah laku monyet bermain, meloncat, dan bergelayutan dari dahan pohon satu ke dahan pohon lainnya.
”Asyik,” kata Munadi, warga Kota Mataram, seakan menikmati monyet itu bermain di atas pohon. Sopir truk sebuah toko bangunan di Kota Cakranegara, Mataram, itu selalu mampir di Pusuk.
”Pulang antar semen dan keramik dari Lombok Utara, saya istirahat di sini, adem, sekalian lihat tingkah monyet yang lucu-lucu ini,” kata Munadi.
Begitu pun Lucy, wisatawan Australia, menilai kawasan itu masih asri dan asli. Tiga kali berwisata ke Lombok, ia selalu mampir di Pusuk. Tujuan Lucy adalah untuk menikmati suasana alam nan sejuk sambil mengakrabi kera-kera hutan yang jinak, obyek favoritnya.