Menjaga Songket Klasik Minangkabau
Sore itu, Susmita (64) membuka jendela rumah gadang milik keluarga besarnya di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan Sepuluh Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, sekitar 15 kilometer di selatan Kota Bukittinggi. Seketika, sinar matahari menerangi ruang tengah bangunan adat yang terlihat semakin ringkih termakan usia itu.
- English Version: Preserving Minangkabau\'s Classic \'Songket\'
Susmita duduk di atas bangku di belakang panta, sebutan untuk alat tenun bukan mesin, yang terbuat dari kayu berukuran 1,5 meter x 2 meter. Hari itu, ia melanjutkan pekerjaan menenun kain songket pesanan pelanggannya dari Jakarta.
”Sudah sebulan saya kerjakan dan belum selesai. Dalam sehari, saya hanya menyelesaikan tujuh sentimeter. Padahal, saya sudah bekerja delapan jam sehari,” kata Susmita, Rabu (24/1).
Pemilik usaha tenun Puti Rumah Gadang yang menenun sejak usia 12 tahun itu mengatakan, ia tidak bisa bekerja cepat. Bukan karena faktor usia, melainkan lebih disebabkan kerumitan motif kain yang sangat memerlukan ketelitian, dan tak kalah penting adalah kesabaran.
Sembari berbincang, Susmita terus bekerja. Kakinya memijak tijak, bagian alat tenun yang berfungsi menaikturunkan benang. Dengan alat bernama pancukia, perempuan itu mencungkil satu per satu lungsin atau benang dasar yang membentuk kain. Dia kemudian memasukkan benang emas untuk membuat motif berbentuk belah ketupat. Selanjutnya Susmita menarik suri atau sisir tenun untuk merapatkan benang emas yang telah ia masukkan.
Dengan jam kerja yang panjang dan tingkat kerumitan tinggi, tak mengherankan jika tenun songket berharga mahal. Susmita mengatakan, harga satu setel kain untuk sarung dan selendang bisa mencapai Rp 5 juta lebih.
”Penjualan tetap stabil. Wisatawan Indonesia dan dari luar negeri, seperti Malaysia, sering datang ke sini. Malah saya sering kewalahan menerima pesanan, padahal sudah dibantu tiga perajin lain,” kata Susmita.
Pilihan tenun tradisional dan motif klasik juga dilakoni Adyan Anwar, pemilik rumah tenun songket Pusako, yang jaraknya tidak jauh dari rumah Susmita. Motif klasik Pusako diambil dari kain-kain peninggalan berumur ratusan tahun.
”Ada juga masyarakat dari daerah lain yang datang kemari membawa kain keluarga yang sudah diwariskan sekian generasi. Kain yang mereka miliki biasanya sudah hampir rusak sehingga meminta kami membuat kain dengan motif yang sama,” kata Adyan.
Adyan memperkirakan, tradisi menenun nagari di kaki Gunung Talang itu telah berusia dua abad atau sejak 1800-an. Keahlian perempuan Pandai Sikek menenun, termasuk motif, diwariskan secara turun- temurun.
Tradisi khas
Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Andalas Padang Nursyirwan Effendi, belum ada literatur atau penelitian tentang siapa yang membawa keterampilan tenun songket ke ranah Minang. Yang dapat dipastikan, songket termasuk tradisi khas suku Melayu, tak hanya di Pulau Sumatera, tetapi juga di Malaysia dan Thailand.
”Songket merupakan bagian dari keterampilan perempuan Minangkabau yang diturunkan oleh nenek moyang. Umumnya songket dikerjakan oleh perempuan yang bermukim di rumah gadang, pada waktu senggang. Sekarang keterampilan tenun aktif masih ditemukan di Pandai Sikek dan Sawahlunto,” tutur Nursyirwan.
Tenun berkualitas juga dihasilkan di Sawahlunto, 81 kilometer arah timur Kota Padang, tepatnya di Kecamatan Silungkang dan Lembah Segar. Di sana ada perajin-perajin terampil yang piawai menghasilkan tenun berkualitas. Bahkan, skala produk tenun di sana lebih besar dibandingkan dengan di Pandai Sikek.
Di Silungkang, kerajinan songket diyakini sudah berkembang sejak abad ke-12. Sentra tenun berada di Batu Manonggou. Di kampung itu dapat dilihat langsung proses pengerjaan songket mulai dari manuriang (memintal benang), manghani (merentangkan posisi benang), manyambuang (menyambung benang), mangarok (menentukan bentuk, ukuran, serta motif), hingga menenun.
Silungkang menjadi sentra tenun terbesar dan pemasok benang untuk perajin tenun di Sumbar, termasuk Pandai Sikek. Adapun kegiatan tenun di Lembah Segar baru muncul pada era 1980-an.
Regenerasi penenun songket di Sawahlunto berjalan baik. Tidak hanya perajin atau pengusaha songket senior, di sana semakin banyak perajin dan pengusaha berusia muda. Seperti Anita Dona Asri (31) di Lunto Timur yang memiliki sekitar 17 perajin dengan usia paling muda 19 tahun. Produk Dona, demikian panggilannya, tersebar di Padang, Jakarta, bahkan Singapura.
Sebagai anak muda, Dona memasarkan tenunnya dengan cara kekinian, memanfaatkan media sosial. ”Saya menyulap ruang tamu menjadi studio foto dadakan. Setiap ada produk atau motif baru, saya bersama teman-teman membagi tugas. Ada yang jadi model, penata gaya, dan tukang foto, kemudian mengunggahnya ke Instagram. Sejauh ini, responsnya positif,” kata Dona.
Sejak 2014, Dona bergerak lebih maju dengan mengembangkan bahan pewarna alami dari berbagai tanaman di sekitar tempat tinggalnya, seperti daun putri malu, serbuk surian, kulit manggis, jengkol, dan pacar air. Untuk menghasilkan benang dengan warna alam, diperlukan waktu lebih dari satu minggu untuk perebusan benang, ekstraksi warna dari tanaman atau buah, pencelupan, dan fiksasi atau penguncian warna.
”Tenun dengan benang pewarna alam tidak diproduksi massal. Itu khusus untuk motif-motif Silungkang yang telah lama hilang. Saya ingin memanfaatkan alam sekitar sekaligus menghidupkan motif-motif itu kembali,” kata Dona.
Kekukuhan penenun Pandai Sikek dan Sawahlunto mempertahankan sejumlah tradisi mereka,telah menjadikan songket Minangkabau tetap eksis di masa kekinian. Tradisi-tradisi itu, misalnya, tetap memakai alat tenun bukan mesin, setia dengan motif klasik, menghidupkan motif yang pernah berjaya pada masanya, dan kembali pada pewarna alamiah.
Meski bertujuan komersial, para perajin itu tak sekadar menghitung keuntungan, tetapi berupaya mempertahankan nilai-nilai atau falsafah hidup orang Minang. Alam terkembang menjadi guru serta adat bersendi syarak (syariah), syarak bersendi kitabullah (Al Quran).