Jay Subiyakto Ingin Bikin Pertunjukan Musik untuk Kalimantan
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Jay Subiyakto, sutradara film dan seniman Indonesia, berencana membuat pertunjukan musik untuk Kalimantan. Kerusakan alam, konflik manusia dan satwa liar dilindungi, konversi lahan, serta kearifan lokal menjadi alasan dirinya memilih Kalimantan.
Jay bersama Puteri Indonesia 2017 Bunga Jelitha Ibrani dan Davina Veronica mengunjungi Pusat Reintroduksi dan Rehabilitasi Nyaru Menteng milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sejak Senin (12/2) sampai Rabu (14/2) ini. Mereka menyaksikan secara langsung proses pengobatan satwa liar dan pengenalan kembali ke habitatnya di hutan.
Jay mengatakan, pertunjukan musik tersebut menurut rencana akan digelar di Jakarta pada Oktober nanti. Namun, karena bertema Kalimantan, ia datang ke Kalimantan Tengah. Ia pun sudah mengunjungi beberapa tempat, seperti Sungai Kahayan, Nyaru Menteng, hutan-hutan alami, dan tempat lain.
”Kalimantan punya masalahnya sendiri, tetapi kita tahu kalau paru-paru dunia itu, ya, di sini (Kalimantan), tetapi kondisinya sudah tidak sama lagi,” ujar Jay.
Jay merasa masih banyak kekayaan alam yang bisa dikembangkan dalam karya seni. Menurut dia, masih banyak orang, khususnya pemuda, yang belum tahu bahwa orangutan merupakan primata dilindungi dan hanya ada di Pulau Kalimantan dan Sumatera.
”Ini kan miris, masyarakat kita, pemuda kita, belum tahu itu. Nah, ini yang membuat saya tergerak untuk membuat pertunjukan musik. Tetapi, saya butuh waktu panjanglah untuk menyiapkannya karena harus baca-baca lagi,” tutur Jay.
Tumbang Anoi
Jay juga mengungkapkan, suku Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan memiliki banyak cerita dan adat istiadat yang menarik diulas dalam sebuah pertunjukan musik. Salah satunya adalah cerita tentang perjanjian Tumbang Anoi.
”Di sini, ratusan tahun lalu ada perjanjian Tumbang Anoi yang menyatukan semua suku Dayak, itu menarik banget,” katanya.
Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ”mengayau” pada tahun 1894. Kini, setelah satu abad berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi sumbu perdamaian bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah (Kompas, 6/4/2011).
Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah salah satu kebiasaan sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini terbagi menjadi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat ditakuti.
Sebelum disepakati untuk dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin banyak kepala musuh yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya tengkorak musuh di rumahnya), seorang lelaki semakin disegani.
Bahkan, perselisihan antarsuku terus berlanjut karena tiap-tiap suku membalas dendam. Perselisihan berkepanjangan itu membuat residen Belanda di Kalimantan Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merasa tidak aman.
Dalam bukunya, Pakat Dayak, KMA M Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian.
Dalam pertemuan itu, disepakati harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan semua suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan.
Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai. Adalah Damang Batu yang berusaha menyatukan dengan berjalan kaki ke sejumlah wilayah Kalimantan untuk menyebarkan undangan perjanjian tersebut.
”Ceritanya menarik. Ratusan orang Dayak berkumpul untuk berdamai. Semangatnya ini yang harus kita sebarkan lagi,” kata Jay.
CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, isu orangutan selalu memiliki kaitan dengan isu lingkungan. Ia berharap, banyak figur publik yang bisa membantu pihaknya dan pengampanye lingkungan lainnya untuk bersama-sama menjaga kearifan alam.
”Semua pegiat lingkungan sadar tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada gerakan dan semangat yang harus selalu dibangun dengan berbagai cara, termasuk seni,” ucap Jamartin.