Konservasi Mata Air di Lereng Gunung Slamet
PAGI ITU, SABTU — (3/2), hawa sejuk seperti biasanya menyelimuti Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Namun, kali ini, suasana desa di lereng Gunung Slamet itu lebih hangat. Warga setempat berbaur dengan pengunjung yang tengah menyaksikan serangkaian acara Festival Bumijawa.
Festival itu digelar Pemerintah Kabupaten Tegal untuk lebih mengenalkan sejumlah potensi yang dimiliki Desa Cempaka. Adapun daya tarik utama desa adalah Tuk Mudal, yakni kolam sumber mata air berukuran sekitar 100 meter x 70 m. Airnya jernih. Bebatuan di dasar kolam pun terlihat dari atas permukaan air.
”Sejak dulu, mata air ini menjadi andalan untuk mengairi sekitar 130 hektar sawah karena mayoritas warga adalah petani. Kalau air ini tidak ada, para petani dan warga lainnya pasti kesulitan mencari air,” ujar Khairul (32), warga Desa Cempaka.
Kepala Desa Cempaka Abdul Khayyi mengatakan, berdasarkan cerita turun-temurun, ada seorang penyebar agama Islam yang menancapkan tombak di salah satu titik. Ketika tombak dicabut, jadilah mata air mengalir tanpa henti yang lalu digunakan warga untuk berbagai keperluan, seperti memasak, mandi, dan wudu.
Saat masih kanak-kanak, kata Khayyi, dirinya melihat langsung mata air itu masih berlimpah air. Saat itu, air juga dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Namun, rongga mata air lalu mengecil sehingga luapan air tak terlihat lagi. Adapun aliran mata air itu kemudian membentuk kolam. Meski tak lagi luber, namanya tetap Tuk Mudal.
Kesadaran menata
Puluhan tahun memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama mengairi sawah, Tuk Mudal berada di titik kritis pada 2014. Terus-menerus terkena banjir dan lumpur, Tuk Mudal kian tak terawat. ”Kami tak mau bernasib seperti desa lain yang kehilangan sumber mata air. Kami mendorong konservasi mata air,” ujar Khayyi.
Penataan pun dilakukan perlahan-lahan. Sampai akhirnya, pada 2015, Desa Cempaka pertama kali mendapat kucuran dana desa sekitar Rp 200 juta. Sebagian dana desa kala itu digunakan untuk memperbaiki kondisi Tuk Mudal, dengan membuat talud di sekelilingnya. Perlahan tetapi pasti, Tuk Mudal kembali asri dan cantik.
Upaya tersebut membuahkan hasil. Tuk Mudal kembali berfungsi mengairi 130 hektar sawah, bahkan menjadi daya pikat utama wisatawan datang ke Desa Cempaka. Kejernihan airnya tetap menjadi pesona utama Tuk Mudal, ditambah pepohonan di sekitarnya yang terus tumbuh, termasuk penataan pot bunga yang menarik.
”Dengan penataan itu, ternyata banyak yang datang untuk selfie (swafoto) di Tuk Mudal. Kami pun tambah semangat dalam mengedepankan konservasi. Desa ini memiliki potensi wisata yang diharapkan memutar perekonomian warga,” kata Khayyi.
Dari dana desa sekitar Rp 800 juta pada 2017, sekitar 50 persennya digunakan untuk infrastruktur. Dibangunlah talud, perbaikan akses jalan di desa guna mendukung pengembangan desa wisata.
Sempat diprotes
Menurut Khayyi, saat berupaya menjadikan Tuk Mudal sebagai obyek wisata, pihaknya sempat diprotes para kiai, ulama, dan ustaz setempat. Mereka khawatir Tuk Mudal akan didatangi orang-orang yang hendak berpacaran sehingga mengundang kemaksiatan.
Khayyi pun tak patah semangat. Dia pun meyakinkan bahwa tujuan utama menjadikan Tuk Mudal sebagai obyek wisata untuk melestarikan alam. ”Melestarikan mata air agar tetap mengairi 130 hektar sawah. Ini bisa dikembangkan menjadi obyek wisata yang menggerakkan perekonomian. Kesepakatan akhirnya tercapai,” katanya.
Seiring waktu berjalan, warga kian merasakan nilai keekonomian dari pengembangan wisata di Desa Cempaka, salah satunya dengan berjualan makanan ringan. Dalam periode 2015-2017, obyek wisata di desa yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Slawi, ibu kota Kabupaten Tegal, itu pun semakin berkembang.
Selain Tuk Mudal, obyek wisata andalan lainnya adalah Bukit Bulak Cempaka (BBC) yang menyuguhkan panorama dari puncak bukit. Umumnya, para wisatawan berburu sunset (matahari terbenam) di BBC. ”Pada 2015, pengunjung di desa kami sekitar 100 orang per bulan. Saat ini sekitar 500 orang per bulan,” kata Khayyi.
Besarnya potensi wisata membuat Desa Cempaka resmi ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Tegal pada Agustus 2017. Penetapan itu tak terlepas dari tingkat kepedulian warga untuk berperan serta menjaga lingkungan dan menjadi tuan rumah yang baik bagi para wisatawan yang berkunjung.
Setiap malam 1 Suro, setiap tahunnya, warga Desa Cempaka melakukan ruwatan dengan membersihkan Tuk Mudal dan area di sekitarnya. Acara itu juga diisi tasyakuran, tahlilan, dan pawai berbagai macam makanan. Selain ungkapan terima kasih kepada Tuhan, kegiatan itu juga bagian dari upaya melestarikan lingkungan.
Salah satu upaya Desa Cempaka dalam menghadirkan kenyamanan bagi pengunjung adalah melalui homestay atau rumah inap yang mengedepankan kearifan lokal. Hingga saat ini, terdapat 40 rumah inap di Desa Cempaka. Dirinya mendorong para penyedia rumah inap untuk memberikan pelayanan prima kepada wisatawan.
Wakil Bupati Tegal Umi Azizah berharap keasrian Desa Cempaka dapat terjaga serta diikuti peran aktif para pemuda desa dalam mengembangkan desa wisata.
”Maksimalkan potensi seni, olahraga, pariwisata, dan hal-hal lainnya dengan memanfaatkan waktu luang dengan berbagai hal positif, bukan sebaliknya yang malah bisa merugikan,” kata Umi.