MALANG, KOMPAS — Penulis naskah drama era tahun 1960-1980-an, Emil Sanossa (80), Senin (12/2) malam sekitar pukul 23.15, berpulang. Meski raganya kembali pada Sang Kuasa, pemikiran-pemikiran kritisnya akan kehidupan berbangsa, khususnya soal toleransi, akan terus dikenang.
Emil Sanossa wafat setelah menderita sakit komplikasi (jantung, diabetes, dan prostat). Penulis asal Malang tersebut meninggal di rumahnya di Vila Sengkaling Blok O-5, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ayah lima anak tersebut sudah mulai mengalami sakit jantung sejak 2011 saat istrinya meninggal dunia.
Wafatnya Emil tidak lama setelah merayakan ulang tahun ke-80 pada 2 Februari 2018. Saat itu, anak-anaknya bertanya mengenai kado yang diinginkan Emil. ”Ayah hanya meminta jaket dan jas hujan untuk anak-anak mahasiswa kesehatan yang merawatnya,” kata Nila Kandi, putri kedua Emil Sanossa, Selasa (13/2). Emil sudah merawat dan menyekolahkan dua mahasiswa anak asuhnya hingga sarjana.
”Emil dikenal sebagai aktivis kebangsaan era tahun 1960-an melalui tulisan-tulisan sastranya. Beliau menyuarakan toleransi dan semangat kenegaraan melalui karyanya. Semoga ini akan terus dikenang dan dijalankan oleh generasi penerus bangsa,” kata Bambang Parianom, ketua RT 003 RW 003 Desa Mulyoagung Dau, sesaat sebelum mengantar jenazah untuk dishalatkan di masjid perumahan.
Emil Sanossa yang bernama asli Khoirul Abdullah tersebut melahirkan beberapa karya drama dan film populer, seperti Fajar Sidik dan Menyongsong Fajar. Hingga kini, tulisannya Buihdan Gelembung masih dicetak ulang.
Karya-karya Emil dikenal dengan tulisan perjuangan kebangsaan. Tak heran jika kemudian dia menyebut dirinya seniman propatria, seniman persaksian sejarah kebangsaan.
Naskah Menyongsong Ufuk, misalnya, menggambarkan perjuangan Rahayu (seorang guru partikelir di sebuah sekolah kebangsaan) saat memperjuangkan cintanya kepada Komarudin (seorang jurnalis) di tengah kesibukannya mengajar sekaligus di tengah pergerakan politik.
Kisah perjalanan hidup Emil tidak melulu hanya menulis. Dia berkesenian sejak SMP ketika dididik filsafat oleh gurunya di sebuah sekolah Islam saat itu.
Meski sekolah Islam, sang guru tidak segan mengajarkan lagu-lagu agama lain untuk membentuk mental anak didiknya. Siswa dilatih menganalisis, membaca, dan menulis banyak hal. Lahirlah Emil dengan pemikiran terbuka, yang kemudian menjadi caranya dalam mendidik lima anaknya.
Seniman kelahiran 2 Februari 1938 itu pernah terjun ke dunia politik. Ia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tahun 1969-1970 dan menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang tahun 1971. Selama menjadi anggota Dewan, Emil sempat berhenti menulis. Waktunya habis untuk pergulatan politik.
Tahun 1980, ia merasa jenuh dengan panggung politik yang dianggapnya tidak adil. Emil memutuskan berhenti menjadi anggota Dewan dan kembali ke Malang untuk menulis. Lahirlah lima naskah yang semuanya memenangi lomba naskah drama TVRI di Surabaya pada 1980.
Kelima naskah itu adalah Orang Ketiga, Gadis Kami Tercinta, Desas Desus, Di Suatu Masa di Sebuah Desa, serta Buih dan Gelembung. Tahun 1980, naskah Gadis Kami Tercinta diproduksi oleh TVRI dengan produser Deddy Mizwar. Film TV itu berhasil menyabet Piala Vidya.
Selamat Jalan Emil Sanossa, semoga semangatmu terus melimpahi negeri ini.