”Seorang pekerja menyadap karet paling banyak 200 kilogram dalam satu minggu. Dengan harga Rp 5.000 per kilogram, penyadap hanya memperoleh pendapatan Rp 100.000 selama satu pekan,” kata Martiani beru Sebayang (26), petani dan tauke karet di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, Selasa (13/2).
Saat ini, dia pun hanya bisa mengumpulkan karet dari petani sekitar 10 ton per bulan. ”Padahal, pada 2011, saya bisa mengumpulkan paling sedikit 100 ton getah karet dalam sebulan,” kata Martiani.
Penurunan produksi getah karet, kata Martiani, terjadi hampir merata. Bahkan, banyak tauke karet yang metutup usaha karena semakin sedikit petani yang menjual karet kepada mereka.
Martiani saat ini hanya mempunyai sekitar 2 hektar (ha) kebun karet dari sebelumnya 10 ha. Dari jumlah itu, 8 ha pohonnya ditebang. Sebagian diganti dengan tanaman sawit dan sebagian masih kosong karena tak ada modal untuk mengolahnya. ”Menebang pohon karet sebenarnya seperti menebang masa depan kami,” katanya.
Meski kebun karet Martiani tersisa 2 ha, tidak semua tanaman karetnya bisa disadap karena tak ada tenaga kerja yang mau menyadap karet. Di desanya, penyadap karet serta pemilik kebun mendapat upah yang sama.
Akibat upah yang rendah itu, para penyadap lebih memilih menjadi buruh bangunan di kota dengan upah Rp 70.000 per hari. Kebun-kebun karet pun akhirnya terbengkalai karena tidak terurus dan disadap. ”Kami juga sudah bertahun-tahun tidak memupuk kebun karet. Uang dari mana untuk membeli pupuk,” katanya.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumatera Utara Edy Irwansyah mengatakan, harga karet yang hanya berkisar Rp 5.000 per kg memang sudah tidak menguntungkan lagi bagi petani. Harga yang menggairahkan bagi petani paling tidak Rp 10.000 per kilogram.
Menurut Edy, produktivitas karet dari petani memang terus merosot karena banyak pohon karet yang tidak disadap, bahkan banyak yang ditebang. Menurunnya produktivitas karet ini antara lain tergambar dari krisis bahan baku karet yang dialami 28 pabrik karet remah di Sumatera Utara. ”Kapasitas semua pabrik yang ada di Sumut sekitar 800.000 ton karet remah per tahun. Namun, bahan baku karet yang ada hanya sekitar 400.000 ton. Terjadi kapasitas menganggur sekitar 50 persen,” katanya.
Tingginya kapasitas menganggur ini, kata Edy, telah menimbulkan inefisiensi. Pabrik harus membayar tenaga kerja dan menggerakkan mesin dengan biaya operasional yang sama. Namun, produksinya hanya setengah dari kapasitas. (NSA)