YOGYAKARTA, KOMPAS — Industri film dan digital animasi sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif di Indonesia semakin menggeliat. Perkembangan ini harus diantisipasi dengan menyiapkan sumber daya sesuai kebutuhan industri yang mampu memenuhi standar internasional.
Eric Hanson, animator kenamaan Hollywood sekaligus dosen program studi Cinematic Arts di University of Southern California, mengatakan, industri film global membutuhkan banyak pasokan animator dan desainer grafis terampil berkelas dunia. ”Konsentrasi dan kesabaran adalah aspek terpenting bagi animator Indonesia untuk terjun di industri film global. Efek visual sangat berorientasi pada detail, sekecil apa pun. Butuh waktu dan kesabaran untuk mengerjakan itu,” ujarnya saat memberikan kuliah umum di Universitas Amikom Yogyakarta, Kamis (15/2).
Kehadiran Eric di Universitas Amikom Yogyakarta merupakan bagian dari rangkaian lokakarya American Film Showcase yang dirancang Kedutaan Besar Amerika Serikat. Selama bulan ini, Eric telah berkeliling ke belasan tempat di Tanah Air untuk berbagi pengalaman industri film dan digital animasi bersama praktisi dan pelajar Indonesia.
Konsentrasi dan kesabaran adalah aspek penting bagi animator. Contohnya, 40 animator membutuhkan waktu tiga bulan guna menyelesaikan adegan banjir besar berdurasi 5 detik pada film The Day After Tomorrow. ”Meski butuh kesabaran, pekerjaan animator tak monoton dan selalu memberikan ruang untuk mengembangkan ide dan kreativitas,” ujar Eric.
Rektor Universitas Amikom Yogyakarta Mohammad Suyanto mengatakan, sekitar 60 orang Indonesia berkarier secara internasional di bidang animasi. Ini membuat perguruan tinggi optimistis dalam mendukung industri animasi dengan menyiapkan sumber daya manusia. ”Lahirnya animator-animator berkelas dunia dapat disiapkan dengan menyediakan pendidikan berkualitas,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif, pada 2017, industri film dan digital animasi berkontribusi terhadap 0,16 persen produk domestik bruto, atau sekitar Rp 852 triliun. Sejumlah film kartun hasil karya animator lokal makin sering dijumpai baik lewat televisi maupun layar bioskop, di antaranya kartun Adit & Sopo Jarwo, Keluarga Somat, Meraih Mimpi, dan Battle of Surabaya, yang kerap diputar di berbagai festival film internasional.
Suyanto yang juga terlibat sebagai produser dan penulis naskah dalam penggarapan film Battle of Surabaya menilai, animator asal Indonesia pun mulai diperhitungkan sejak dua tahun lalu. Sekolah khusus animasi di Indonesia juga mulai banyak bermunculan. ”Industri animasi membuka lapangan kerja yang besar. Untuk memproduksi film inovasi yang box office, dibutuhkan tenaga kerja sekitar 400 orang dalam kurun 3-4 tahun,” ujarnya.
Biaya produksi film animasi yang tinggi dan membutuhkan waktu panjang menjadi tantangan bagi animator lokal mengembangkan karya. Bobby Muscar, pemilik Bobby Muscar Film Production, menambahkan, dari segi teknologi animasi, Indonesia masih tertinggal.
”Dalam teknologi editing animasi, kita masih tertinggal. Saat sineas dan animator lokal masih berkutat dengan animasi 3D, produser film Hollywood sudah memberikan pengalaman 5D kepada penonton,” ujarnya.
Dukungan dan stimulus permodalan dari pemerintah dibutuhkan agar karya animator lokal bisa bersaing dengan mancanegara. Tempat pendidikan berkualitas juga harus disiapkan guna melahirkan SDM animator berkualitas dunia. (DIM)