Andi (30), pelayan sebuah kafe di kawasan Hutan Pusuk, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memberikan satu ketapel kepada dua tamunya yang duduk di sebuah berugak (bale-bale) sebelum membelah buah durian. Ketapel itu digunakan untuk menakut- nakuti kera-kera yang selalu mencari kesempatan untuk membawa kabur buah durian. Katapel itu tak memiliki batu pelontar karena dimaksudkan untuk mengusir monyet agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung menyantap durian.
Obyek wisata Pusuk adalah habitat populasi monyet abu-abu ekor panjang. ”Monyet ini suka buah durian,” ujar Andi sambil menunjuk 2 monyet yang mengintip beberapa buah durian di berugak itu. Dia sempat menarik karet pelatuk ketapel dan membuat 2 monyet itu menjauh.
Ketika musim durian tiba (Januari-Februari), buah durian menjadi dagangan yang laris di Lombok. Sepanjang ruas jalan di kawasan wisata Pusuk, para pedagang menjajakan durian.
Di Kota Mataram pun demikian, terutama di beberapa titik ruas jalan yang ramai dilalui kendaraan, seperti di Jalan Airlangga dan Jalan Udayana. Bahkan, jalan yang semula sepi, kini jadi ramai oleh para penjual durian dan kerumunan warga yang membeli buah durian. Seperti di dekat lokasi pompa bensin Selagas, kerumunan orang berderet di seputaran tumpukan buah durian.
Begitu juga di ruas jalan pintas ”Taman Jangkar” Kota Ampenan. Jalan pintas itu ”tertutup” untuk lalu lintas karena ”dijejali” ratusan deretan bakul durian milik puluhan pedagang, dengan kerumunan warga yang memilih, menawar, bahkan nongkrong sambil menyantap durian di malam hari.
Buah durian umumnya didatangkan dari Desa Karang Bayan, Batu Kumbung, Desa Peresak Bayan, dan Kebun Duman, Kecamatan Lingsar, serta Desa Sidemen dan Kekait, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Daerah-daerah itu adalah sentra produksi durian.
Durian itu dijual berkisar Rp 25.000-Rp 30.000 per buah. Menurut Inaq Sumiati, pedagang durian di Pasar Sidemen, harga durian saat ini cenderung turun dibanding pada Januari lalu yang mencapai Rp 60.000- Rp 100.000 per buah. Pedagang biasanya mendapatkan keuntungan sedikit dari penjualan itu.
39 varietas
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB menyebutkan, ada 39 varietas lokal durian di sentra produk se-Pulau Lombok. Bahkan, 12 virietas di antaranya menjadi buah unggulan. Dari 12 varietas itu, ada yang populasinya tinggal satu batang, yaitu Durian Gundul (tidak memiliki duri pada kulitnya, mirip tempurung kelapa) yang kini dilakukan duplikasi oleh instansi terkait agar tidak punah. Durian unggulan Lombok itu antara lain varietas Si Payuk, Slaut, Sentereng, Gandrung, Setiling, Canting, Kosong, Lancung, Tong Medaye, Payung, dan Gangsing.
”Lezat, aromanya khas, daging buah kuning menyala. Rasanya manis sedikit pahit, kulit buahnya ngelotok yang hampir tak melekat di tulangnya bila dimakan,” kata Rusni, pegawai negeri yang mengisi jam istirahat kerjanya dengan menikmati durian di Pasar Sidemen. Dia tidak memilih durian varietas khusus untuk dimakan. Prinsipnya, durian itu harus yang lezat.
Durian juga dibudidayakan di Lombok Utara, terutama di wiayah yang berdekatan dengan kawasan hutan Gunung Rinjani. Misalnya, pada tujuh dusun di wilayah Desa Genggelang, Lombok Utara. Di sana, masyarakat setempat menanam durian sebagai tanaman sela di antara tanaman kakao, manggis, dan kopi. Kendati demikian, pohon durian yang ditanam cukup banyak sehingga menjadi andalan pendapatan petani. Apalagi, buah durian termasuk komoditas yang selalu habis terjual berapa pun jumlahnya.
Saat ini pasar durian semakin luas. Minat masyarakat untuk mengonsumsi durian juga semakin tinggi. Saat musimnya, wisatawan yang datang ke Lombok pun selalu memburu durian lokal. Inilah peluang yang mulai dilihat petani di Lombok sehingga gairah mereka untuk membudidayakan durian makin tinggi. (KHAERUL ANWAR)