KUALA KAPUAS, KOMPAS — Pembalakan liar di kawasan hutan lindung dan konservasi orangutan di Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, makin kerap terjadi. Dalam sehari, sesuai pantauan pada Sabtu (17/2), sedikitnya 5.000 lebih kayu log keluar dari hutan lindung. Pembalakan terjadi dalam lima tahun terakhir.
Saat menyusuri Sungai Mantangai, anak Sungai Kapuas, terpantau ribuan kayu log jenis meranti campuran dikeluarkan dari hutan lindung di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas-Kahayan. Kayu-kayu itu dialirkan melalui kanal-kanal bekas proyek lahan gambut (PLG) di blok A dan blok E sekitar wilayah Mantangai, Kapuas.
”Sebulan terakhir ini lagi ramai-ramainya. Kalau lagi banyak yang pesan, pasti banyak yang masuk hutan,” kata SM (43), warga Mantangai Hilir, di Mantangai, Sabtu (17/2).
Siang itu di Kanal Tarantang, para pembalak masih menarik rakit kayu-kayu log atau kayu bulat di Sungai Mantangai dengan perahu mesin atau yang dikenal dengan kelotok oleh warga sekitar. Satu perahu mesin minimal menarik dua baris rakit yang panjang maksimalnya mencapai 204 meter.
Satu baris rakit bisa berisi 51 bam (rakit yang lebih kecil). Satu bam berisi empat sampai lima potong kayu berdiameter 20-30 sentimeter dengan panjang kayu mencapai 4 meter, sehingga dua baris rakit dengan panjang 204 meter bisa berisi 1.020 kayu log.
Sabtu itu terdapat lebih dari empat baris rakit panjang dan belasan rakit kecil keluar dengan jumlah kayu mencapai 5.000 log lebih. Kayu-kayu tersebut ditarik atau hanya diikat di pohon di pinggir kanal.
”Setelah kayu dipotong tidak langsung ditarik ke sungai, tetapi dikumpulkan dulu di dalam hutan. Setelah banyak, kayu baru dibawa,” kata SM.
Kepala Kepolisian Sektor Mantangai Ajun Komisaris Amri berjanji akan menindak langsung para pembalak liar di wilayah hutan lindung di sekitar Sungai Mantangai. Dari tahun ke tahun, kata Amri, polisi sudah sering menangkap pembalak liar di lokasi yang sama.
”Sudah banyak kasus temuan kami, hanya terus berulang. Mereka (pembalak) pekerjaannya seperti itu. Kalau belum ada lapangan pekerjaan lain, akan begitu terus setiap tahun,” ujar Amri di Palangkaraya, Minggu (18/2).
Amri menjelaskan, selama ini setiap kali menindak, polisi sulit mengejar para pembalak yang kabur ke dalam hutan. Banyak bengkel-bengkel pengolahan kayu yang ditinggal begitu saja saat penindakan. ”Orangnya kabur, mesin dan kayu-kayu ditinggal. (Lalu) kami jaga kayu dan bengkelnya, besok mereka buat lagi di tempat yang berbeda,” kata Amri.
Di Desa Manusup, sesuai pantauan Kompas, di sepanjang sungai dan kanal ada sedikitnya 30 bengkel olahan kayu. Kayu- kayu yang ditarik pembalak mayoritas dibawa ke bengkel tersebut untuk diolah. Di salah satu bengkel terlihat ada kegiatan pemotongan kayu dari rakit-rakit tadi.
Lima tahun terakhir
Menurut Manajer Program Mawas dari Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jhanson Regalino, pembalakan liar marak sejak lima tahun terakhir. Hal itu juga menjadi salah satu penyebab hancurnya ekosistem dan habitat orangutan di kawasan hutan lindung.
”Ini harus segera ditindak dan kalau bisa jangan hanya pembalak di lokasi, tetapi juga cukong-cukongnya. Sebab, kalau tidak ada yang pesan dan mendanai mereka, tidak ada pembalakan liar,” ujarnya.
Yayasan BOS mencatat, di kawasan hutan lindung dan wilayah konservasi Yayasan BOS terdapat sedikitnya 2.550 orangutan yang bertahan. Jumlah itu yang terbanyak kedua di Kalimantan Tengah setelah Taman Nasional Sebangau yang populasinya mencapai 6.000-an lebih. ”Kalau hutannya habis, dampaknya, ya, ekosistem rusak, banjir datang terus, dan populasi orangutan menurun,” kata Jhanson.
Kepala KPHL Model Kapuas-Kahayan Bayu Nugroho mengatakan, selama ini sudah dilakukan pendekatan dengan masyarakat di sekitar wilayah kerjanya. Sudah banyak program pemberdayaan warga yang bertujuan untuk mengalihkan mata pencarian warga.