YOGYAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta meminta kebijakan yang melarang warga nonpribumi memiliki tanah di DIY tidak lagi diberlakukan. Ombudsman juga menilai, keputusan beberapa kantor pertanahan di DIY yang menolak menerbitkan sertifikat hak milik tanah untuk warga keturunan Tionghoa merupakan tindakan malaadministrasi.
Hal itu terungkap dalam dokumen Hasil Akhir Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY. Laporan itu berjudul ”Maladministrasi dalam Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Milik atas Tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta”.
Dokumen tertanggal 9 Februari 2018 itu telah dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY dan jajarannya, Senin (12/2). ”Kami menyimpulkan tindakan menolak permohonan sertifikat hak milik (SHM) dari warga keturunan Tionghoa merupakan malaadministrasi,” kata Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masthuri, Senin (19/2), di Yogyakarta.
Dokumen hasil akhir pemeriksaan laporan itu merupakan tindak lanjut atas empat laporan yang diterima ORI Perwakilan DIY pada 2016 terkait diskriminasi pertanahan di DIY. Dari empat laporan itu, tiga laporan berasal dari warga keturunan Tionghoa yang membeli tanah di DIY, tetapi kesulitan mendapatkan SHM saat mengurus di kantor pertanahan, instansi di bawah BPN. Kesulitan pengurusan SHM itu terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta.
Instruksi tahun 1975
Penolakan tersebut terjadi karena kantor pertanahan di Bantul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta merujuk pada Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 perihal Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah bagi Seorang WNI Nonpribumi. Instruksi itu terbit pada 5 Maret 1975 dan ditandatangani Wakil Kepala Daerah DIY saat itu, Paku Alam VIII. Dalam instruksi tersebut dinyatakan, Pemerintah DIY belum memberikan hak milik atas tanah kepada warga negara Indonesia nonpribumi.
Budhi menyatakan, Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tidak bisa dijadikan dasar untuk menolak permohonan penerbitan SHM oleh warga keturunan Tionghoa. Hal ini karena berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 13P/ HUM/2015, instruksi itu bukan termasuk peraturan perundang-undangan. Selain itu, tidak ada undang-undang atau aturan pertanahan dari BPN yang menjadikan instruksi tersebut sebagai rujukan.
Oleh karena itu, ORI Perwakilan DIY meminta Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta memproses permohonan penerbitan SHM oleh warga keturunan Tionghoa. Tiga institusi tersebut memiliki waktu 30 hari untuk menindaklanjuti saran tersebut setelah diterimanya hasil akhir pemeriksaan laporan dari ORI Perwakilan DIY.
Kepala Kanwil BPN DIY Tri Wibisono mengatakan, pihaknya segera memanggil kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, dan kepala Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta untuk berkoordinasi terkait laporan ORI Perwakilan DIY. Kanwil BPN DIY juga akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY terkait persoalan itu.
”Direncanakan, koordinasi itu kami gelar pada hari Kamis (22/2),” ujar Tri Wibisono. (HRS)