YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan menolak gugatan warga yang mempersoalkan kebijakan diskriminasi pertanahan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Majelis hakim menilai kebijakan melarang warga etnis Tionghoa memiliki tanah di DI Yogyakarta bukanlah tindakan melawan hukum.
Majelis hakim yang diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Sri Harsiwi dan Nuryanto dalam putusannya, antara lain, menyebutkan, Pemerintah DIY memiliki kewenangan istimewa untuk mengatur kebijakan dan peraturan terkait pertanahan dan tata ruang. ”Keistimewaan DIY secara tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah DIY di bidang pertanahan dalam rangka menjaga sejarah dan kebudayaan, khususnya keberadaan Kesultanan Ngayogyakarta,” kata Harsiwi dalam sidang putusan di PN Yogyakarta, Selasa (20/2).
Oktober 2017, Handoko (35), warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY. Dia menggugat karena kedua pihak dinilai menjalankan kebijakan pertanahan berdasarkan Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975 perihal Penyeragaman Kebijakan Pemberian Hak atas Tanah bagi Seorang WNI Nonpribumi. Instruksi itu ditandatangani Wakil Kepala Daerah DIY saat itu, Paku Alam VIII. Dalam instruksi tersebut dinyatakan, Pemerintah DIY belum memberikan hak milik atas tanah kepada warga negara Indonesia nonpribumi.
Handoko menilai, instruksi itu bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria serta Instruksi Presiden No 1998 yang melarang penggunaan istilah pribumi-nonpribumi dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan.
Majelis hakim memutuskan, berdasarkan keterangan saksi ahli dalam persidangan, yaitu instruksi yang selama ini menjadi pedoman kebijakan pertanahan di DIY bukan produk perundangan, sehingga tak bisa diuji dengan produk perundangan lain yang lebih tinggi. ”Instruksi itu hanya produk kebijakan umum yang hanya dapat diuji dengan asas umum pemerintahan yang baik,” ujar Harsiwi.
Tim kuasa hukum Sultan HB X dalam jawabannya mendalilkan bahwa penerbitan dan pemberlakuan instruksi itu semata-mata guna mengatasi ketimpangan, dengan cara melindungi perekonomian masyarakat DIY yang relatif lemah. Sementara kuasa hukum dan perwakilan Kepala Kanwil BPN DIY mendalilkan mereka merujuk instruksi itu dalam rangka penerapan prinsip koordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
Handoko tetap tidak puas dan segera mengajukan banding. Menurut dia, ras dan identitas kelompok tidak bisa jadi tolok ukur dalam upaya melindungi warga ekonomi lemah. ”Alat ukur untuk melindungi golongan lemah harusnya kekayaan, bukan ras. Saya hormati putusan hakim, tapi saya akan banding,” ujarnya. (DIM)