Asa Sejahtera Bertani Tanpa Bakar
Puluhan tahun petani di Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, membuka lahan dengan sistem bakar. Namun, dua tahun terakhir, mereka diperkenalkan dengan pertanian ekologis terpadu. Kini cara bertani tradisional pelan-pelan ditinggalkan.
- English Version: Hope for Better Life from Ecological Farming
Terik matahari pada Rabu (14/2) siang tidak menyurutkan langkah para ibu di Desa Lembah Hijau II, Nanga Tayap, sekitar 350 kilometer dari Pontianak, untuk turun ke kebun. Mereka memanen sawi dan bayam yang ditanam di kebun belajar pertanian ekologis terpadu seluas 2.500 meter persegi.
Sawi, bayam, dan kangkung di kebun itu tumbuh subur. Batangnya gemuk, daunnya lebar, warnanya hijau segar. ”Sayuran di sini tidak diberi pupuk kimia dan pestisida, hanya menggunakan kompos dan pupuk kandang. Ini sayuran organik,” kata Yatimin (63), Ketua Kelompok Tani Sinar Harapan Desa Lembah Hijau II.
Menurut Yatimin, mereka sudah dua tahun menerapkan pertanian ekologis terpadu di kebun belajar. Kebun tersebut dikelola 13 orang, yakni 10 perempuan dan 3 laki-laki. Selain mengelola kebun belajar, para anggota dalam setahun terakhir pun mulai menerapkan pertanian ekologis terpadu di kebun masing-masing.
Pertanian ekologis terpadu merupakan pertanian organik dan berkelanjutan tanpa pembakaran lahan. Setelah lahan dibersihkan, rumput dan gulmanya tidak dibakar, tetapi digiling dengan mesin untuk jadi kompos. ”Sekarang, kami tidak lagi mengeluarkan biaya untuk beli pupuk dan pestisida,” ujarnya.
Agar sayuran tidak diserang hama, petani membuat pestisida alami dari dedaunan. Mereka juga menanam bunga di antara sayuran, seperti bunga jengger ayam dan kembang kenikir. ”Tanaman bunga itu untuk pengalih serangan hama,” kata Purwati (57), petani setempat.
Yatimin mengatakan, pertanian organik tidak hanya menghasilkan sayuran berkualitas baik dan sehat, tetapi juga menguntungkan petani. Untuk kangkung, misalnya, dari benih seharga Rp 30.000, petani bisa mendapatkan hasil Rp 300.000 saat panen. Itu pendapatan bersih tanpa potongan biaya pupuk dan pestisida.
Hasil lebih banyak
Di kebun belajar, petani bisa panen 4-5 kali dalam seminggu. Sekali panen, hasil penjualan sayuran rata-rata Rp 200.000. Jadi, mereka bisa mendapatkan Rp 800.000-Rp 1.000.000 per minggu. Hasil penjualan dikumpulkan di kas kelompok tani.
Bagi Yatimin, yang telah menerapkan pertanian ekologis terpadu di kebun sendiri, ia bisa mendapatkan penghasilan harian dari kebun sayurnya. ”Sehari paling tidak dapat Rp 60.000. Kalau banyak pesanan, bisa Rp 200.000 sehari,” ujar bapak lima anak dengan 13 cucu itu.
Di Nanga Tayap, pertanian ekologis terpadu tidak hanya diterapkan untuk tanaman hortikultura, tetapi juga untuk tanaman pangan. Uji coba tanaman padi dilakukan di kebun belajar Desa Tajok Kayong.
Ahmadi (50), Ketua Kelompok Tani Mitra Bedulur Desa Tajok Kayong, mengatakan sudah menerapkan pertanian tanpa bakar untuk menanam padi di lahan 1.000 meter persegi. Padi ditanam pada Desember 2017 dan dipanen pada Februari 2018.
”Hasilnya sangat menjanjikan, jauh melebihi hasil kami sebelumnya. Dari 8 kilogram (kg) benih, kami menghasilkan 200 kg gabah kering panen atau dua kali lipat dari hasil yang lahannya dibakar,” kata bapak empat anak, satu cucu itu.
Diakui Ahmadi, bertani tanpa sistem bakar lebih menguras tenaga dibandingkan cara bertani tradisional dengan membakar lahan. Setelah lahan dibersihkan, tanah harus dibajak dengan traktor tangan terlebih dahulu, baru bisa ditanami padi.
”Karena sekarang masyarakat dilarang membakar lahan, cara itu harus dilakukan. Memang lebih capek, tetapi hasilnya juga lebih banyak. Jadi, sesuai antara usaha dan hasil,” ujarnya.
Kolaborasi
Vice President Agronomy Sinar Mas Agribusiness and Food Wilayah Kalimantan Barat Junaidi Piliang mengatakan, desa-desa di Nanga Tayap yang sudah menerapkan pertanian ekologis terpadu merupakan desa peserta Program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dari Sinar Mas Agribusiness and Food.
Program DMPA berlatar belakang kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan, kebun, dan lahan pada 2014-2015. Dipastikan, 99 persen penyebab kebakaran oleh manusia dan hanya 1 persen oleh alam (iklim).
”Maka, kami membangun sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan untuk mencapai zero burning (bebas kebakaran). Masyarakat tidak sekadar dilarang membakar dalam mengusahakan pertanian, tetapi diberi solusi dengan pertanian ekologis terpadu agar terjadi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Menurut Junaidi, program DMPA yang bermula dari program Desa Siaga Api (DSA) pada 2016 yan berhasil mengurangi titik panas dan kebakaran (titik api) di 8 desa di Nanga Tayap, yakni Tajok Kayong, Nanga Tayap, Lembah Hijau I, Lembah Hijau II, Siantau Raya, Sungai Kelik, Simpang Tiga Sembelangaan, dan Tanjung Medan.
”Pada 2017, jumlah titik panas dan titik api di desa peserta program DMPA turun menjadi 12 titik panas dan 7 titik api dari 23 titik panas dan 5 titik api pada 2016, serta 213 titik panas dan 158 titik api pada 2015,” kata Junaidi.
Junaidi mengatakan, pertanian ekologis terpadu yang saat ini berhasil diterapkan di dua desa peserta program DMPA akan terus dikembangkan di desa-desa lain. ”Pada 2019, semua desa peserta program DMPA diharapkan menerapkan pertanian ekologis terpadu,” ujarnya.
Camat Nanga Tayap Dewanto berharap pertanian ekologis terpadu bisa berkembang dari delapan desa binaan Sinar Mas Agribusiness and Food ke 12 desa lain. ”Di Nanga Tayap, ada 20 desa. Semua desa di wilayah kami sudah tersentuh perusahaan perkebunan, perkayuan, dan pertambangan. Jadi, perusahaan harus berkontribusi membina masyarakat,” kata Dewanto.
Program pertanian ekologis terpadu, menurut dia, harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. (JUMARTO YULIANUS)