Polisi Sita 3.000 Batang Kayu Ilegal di Sungai Mantangai
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Petugas Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah menyita 3.000 batang kayu bulat atau sekitar 8.460 meter kubik kayu jenis meranti dan rimba campuran di sekitar Sungai Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Polisi masih mengejar pemilik kayu.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah (Kalteng) Ajun Komisaris Besar (AKBP) Pambudi Rahayu mengatakan, penyitaan ribuan kayu tersebut dilakukan pada Kamis (22/2). Setelah mendapatkan informasi dari warga sekitar, pihaknya yakin kalau kayu-kayu tersebut berasal dari hutan lindung di sekitar Sungai Mantangai, anak Sungai Kapuas.
“Kami saat ini melakukan penyelidikan mendalam terkait kasus ini. Kami akan menindak tegas siapapun pemiliknya nanti,” ungkap Pambudi, di Palangkaraya, Jumat (23/2).
Sebelumnya, hutan lindung dan kawasan konsrevasi orangutan di Mantangai, Kabupaten Kapuas semakin hancur karena pembalakan liar. Dalam sehari, sesuai pantauan Kompas pada Sabtu (17/2) sedikitnya 5.000 batang kayu bulat keluar hutan lindung. Pembalakan terjadi dalam lima tahun terakhir. (Kompas, 19/2).
Pambudi menambahkan, saat ini barang bukti ribuan kayu tersebut dibawa ke kantor Kepolisian Resor Kapuas. Pihaknya juga belum menangkap tersangka pembalakan.
Kepala Kepolisian Resor Kapuas AKBP Sachroni Anwar menjelaskan, pemilik kayu kabur sebelum petugas datang ke lokasi dan meninggalkan ribuan batang kayu. Pihaknya masih melakukan pengejaran.
“Kami sudah mengantongi identitas pemilik kayu-kayu ilegal ini, kami akan lakukan pengejaran,” ungkap Anwar.
Selain menyita ribuan kayu ilegal, pihaknya juga menutup tiga bengkel kayu olahan ilegal atau yang biasa disebut bandsaw oleh masyarakat sekitar. Terdapat tiga mesin pengolah kayu di bengkel-bengkel tersebut yang juga disita petugas.
“Kami batasi dengan garis polisi untuk pengembangan penyelidikan. Bengkel-bengkel ini diduga sebagai tempat memotong kayu ini menjadi lembar-lembar kayu agar lebih mudah dan cepat dijual,” ungkap Anwar.
Dari pantauan Kompas, saat menyusuri Sungai Mantangai, anak Sungai Kapuas, jarak bengkel-bengkel hanya 500 meter dari Kota Kecamatan Mantangai. Bisa ditempuh menggunakan perahu motor dalam waktu 20 menit. Bahkan, di wilayah Manusup sekitar kanal-kanal bekas proyek lahan gambut (PLG) terdapat sekitar 30 bengkel kayu olahan.
Manajer Program Mawas dari Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jhanson Regalino mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya kepolisian untuk mengentas pembalakan liar. Namun, ia berharap upaya penegakan hukum tidak sampai pada penangkapan warga saja melainkan juga pengawasan.
“Kejadian seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun. Kami berharap polisi juga melakukan pengawasan ketat di sekitar sungai ke depannya. Karena kalau tidak percuma saja ditangkapi terus,” ungkap Jhanson.
Hal senada juga diungkap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono. Menurutnya, penegakan hukum harus sampai ke akar masalah dari pembalakan liar di hutan-hutan lindung di Kalteng.
“Siapa di belakang pembalak-pembalak itu juga harus diusut. Pemodalnya, dijual ke mana kayunya, itu semua harus diselidiki,” ungkap Dimas.
Menanggapi hal itu, Pambudi mengatakan pihaknya berkomitmen mengusut tuntas kasus pembalakan liar di Kabupaten Kapuas. “Kami menyelidiki secara cermat,” ujarnya.