SOLO, KOMPAS — Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyatakan, perguruan tinggi di Indonesia harus siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Untuk itu, pengembangan perguruan tinggi siber menjadi keharusan.
Menurut Nasir, saat ini perkembangan teknologi informasi begitu pesat sehingga perguruan tinggi harus mengantisipasinya.
Menghadapi era revolusi industri 4.0 yang berbasis digital, perguruan tinggi tidak cukup lagi hanya menggelar perkuliahan berdasarkan tatap muka.
”Kuliah tatap muka dari waktu ke waktu akan mengalami pergeseran karena teknologi informasi,” kata Nasir di sela-sela kunjungan kerja di Universitas Muhammadiyah Surakarta di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (24/2).
Dengan perkembangan teknologi informasi, perguruan tinggi dapat melaksanakan perkuliahan dengan sistem daring.
Dalam sistem perkuliahan daring, rasio dosen dengan mahasiswa tidak dibatasi lagi untuk mata kuliah eksakta adalah 1:30, dan sosial 1:40. Dengan perkuliahan sistem daring, rasio tersebut dapat menjadi 1: 1.000.
”Artinya, satu dosen bisa memiliki 1.000 mahasiswa, rasionya tidak dibatasi lagi, tetapi yang kami perhatikan adalah infrastruktur yang dibangun di dalam teknologi informasi itu,” katanya.
Nasir mengatakan, dalam perkuliahan daring kualitas tetap harus dijaga. Untuk itu, Kemenristek dan Dikti sedang membuat sistem penjaminan mutu terhadap sistem perkuliahan daring.
”Kami sudah tugaskan, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiwaan melalui penjaminan mutunya, kami bentuk cyber university,” katanya.
Nasir mengatakan, cyber university atau perguruan tinggi siber adalah suatu sistem penjaminan mutu terhadap sistem perkuliahan daring atau disebut sistem pembelajaran daring. Pedoman tersebut harus diikuti oleh semua perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan proses pembelajaran dengan sistem daring.
”Ini harus kita lakukan supaya mutu yang ada tidak ada bedanya antara kuliah tatap muka dan perkuliahan daring,” katanya.