KOBA, KOMPAS — Tim Seksi Wilayah III Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta instansi terkait menangkap lima petambang liar bijih timah di Taman Hutan Raya Bukit Mangkol, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan ini diduga telah berlangsung sejak dua tahun lalu dan berdampak pada kerusakan lingkungan di kawasan tersebut.
Kepala Seksi III Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Dodi Kurniawan, Jumat (23/2), mengatakan, kelima pelaku ditangkap pada Rabu (21/2) saat menambang. Kelimanya adalah AH, RS, AN, MM, dan IS. Empat pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka, sementara IS hanya dijadikan saksi karena baru dua hari terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.
Selain menangkap kelima pelaku, kata Dodi, pihaknya juga menyita sejumlah alat tambang, seperti mesin air, pipa, mesin dompeng, dua jeriken solar dan minyak. Berdasarkan pengakuan tersangka, mereka baru menambang tiga bulan terakhir. Namun, kesaksian masyarakat sekitar menyatakan kegiatan penambangan sudah berlangsung dua tahun terakhir. "Sebenarnya kelompok ini sudah diperingatkan berkali- kali, tetapi peringatan itu tak digubris. Jadi, mereka kami tangkap," kata Dodi.
Akibat penambangan secara liar, kondisi Bukit Mangkol kini memprihatinkan. Banyak lubang galian di sekitar daerah aliran sungai sehingga alur sungai tidak lagi terlihat.
Ada sekitar 40 hektar kawasan sungai yang ditambang secara liar. Selama ini kandungan timah dapat ditemukan dengan mudah di sekitar sungai.
Berdasarkan pengakuan tersangka, dalam satu hari, mereka bisa mendapatkan timah sebanyak 25 kilogram. "Saat ini harga timah cukup menggiurkan, yakni mencapai Rp 100.000 per kg. Inilah yang membuat mereka tergiur untuk menambang secara liar," ujarnya.
Berdasarkan pemetaan dan penyelidikan selama seminggu, kata Dodi, setidaknya ada enam titik penambangan secara liar bijih timah di kawasan itu. Tiap titik digali oleh 5-12 petambang. Namun, pada saat penggerebekan, hanya lima petambang yang tertangkap. "Adapun kelompok lain sudah melarikan diri," katanya. Berdasarkan pengakuan tersangka, mereka menjual hasil tambang ilegal di enam titik penambangan itu kepada pengepul yang sama.
Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Ratno Budi mengatakan, penambangan secara liar marak di Kepulauan Babel. Dari 630.000 hektar kawasan hutan yang ada di Babel, 40 persen rusak akibat penambangan secara liar. Bahkan, dalam periode 2004-2015, kerugian negara akibat penambangan secara liar di Babel mencapai Rp 20 triliun.
Penambangan liar juga menjadi penyebab banjir besar di Babel pada Juli 2017. "Kalau hal ini terus dibiarkan, bencana banjir selanjutnya hanya tinggal menunggu waktu," ujar Ratno.
Untuk mencegah hal itu berulang, kata Ratno, pihaknya berharap adanya sanksi tegas. Sanksi itu tidak hanya diberikan terhadap pelaku di lapangan, yakni petambang rakyat, tetapi juga terhadap pengepul, pengelola smelter, dan perusahaan yang menampung bijih timah tersebut. "Ada 30 smelter yang aktif di Bangka Belitung. Kemungkinan besar semua bijih timah yang ditambang di kawasan hutan dikelola di sana," kata Ratno. (RAM)