SURABAYA, KOMPAS — Model jurnalisme presisi yang dikembangkan dari kekuatan pencarian data bisa diandalkan untuk menghadang berita bohong atau hoaks. Mahasiswa yang tumbuh dalam lingkungan budaya akademik serta menghargai tinggi penarikan kesimpulan melalui uji data, statistik, dan pengumpulan fakta melalui survei menjadi pemegang peran penting dalam pengembangan jurnalisme presisi di media sosial.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan hal itu di depan ratusan mahasiswa yang menghadiri kegiatan Eduexpo Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya, Sabtu (24/2). Pada kegiatan tersebut, tampil juga pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unair, Sukowidodo, dalam acara bertema ”Menangkal Berita Hoax dengan Jurnalisme Presisi”.
Menurut Budiman, jurnalisme presisi atau juga disebut jurnalisme data dimodelkan sebagai bentuk karya jurnalistik yang mendasarkan pada pencarian fakta dalam usaha meningkatkan kualitas berita melalui peningkatan ketepatan data.
Caranya tidak hanya dengan wawancara sana-sini, tetapi juga melengkapinya dengan hasil penelitian dan survei. Tidak itu saja, juga dengan mendapatkan informasi secara akurat dan real time (tepat waktu), termasuk dengan liputan fotografi dan videografi dan lalu lintas data.
”Misalnya, pernyataan Indonesia negeri yang kaya dengan jumlah gunung api, kekayaan alam dan budaya. Itu perkataan jurnalisme zaman dulu,” kata Budiman.
”Tetapi, di zaman sekarang, jurnalisme menjelaskan segala kekayaan itu dengan menyelam ke bawah laut, membuat video dan potret bawah laut, menunjukkan kekayaan dan fakta nyata, juga dengan menerbangkan kamera ke atas puncak-puncak gunung, serta memaparkan data statistik,” ungkap Budiman.
Bukan lembaga survei
Kompas melaksanakan praktik jurnalisme presisi, antara lain, pada peliputan Pilkada DKI Jakarta 2017. Jurnalisme presisi mendedikasikan diri kepada warga dan membuat survei hasil pilkada di tempat pemungutan suara (TPS) yang melibatkan 1.000 peneliti saat pemungutan suara.
Hasilnya, diperoleh data berharga hasil sampling coblosan survei Litbang Kompas yang dipublikasikan hanya berselang dua jam dari jam tutup TPS.
”Hasil itu hanya berselisih nol koma nol nol dari hasil hitung manual oleh lembaga resmi KPU dua minggu kemudian. Padahal, Kompas bukan lembaga survei, dan melaksanakan survei itu dengan pembiayaan mandiri,” ujar Budiman.
Sukowidodo mengatakan, jurnalisme presisi atau jurnalisme data memiliki semangat dan budaya yang sama dengan alam akademik, yakni memberikan nilai tinggi pada penarikan pencarian kebenaran berdasarkan data ilmiah yang kokoh dan teruji dan bisa dipertanggungjawabkan. Warga diselamatkan dari risiko merajalelanya berita bohong dengan jurnalisme presisi. (ODY)