Oase di Sela Pantai Utara Jawa
Setelah puas berfoto di sekitar dermaga, para pengunjung mulai menyusuri hutan bakau. Memasuki areal hutan, embusan angin laut mulai berkurang, teredam rimbun dedaunan. Suasana tenang, asri, dan sunyi. Tak perlu takut tersesat karena titian papan kayu selebar 1,5 meter yang membentang sepanjang kawasan hutan mangrove akan menuntun pengunjung kembali ke titik mula.
Sejauh perjalanan 1 kilometer itu, pengunjung disuguhi pemandangan mangrove di sebelah kanan dan kiri jalur. Beberapa tempat disiapkan sebagai lokasi asyik untuk berswafoto, di antaranya jembatan pink dan patung ikan mudskipper (tembakul). Ada juga gardu pandang setinggi lebih dari 10 meter yang memungkinkan pengunjung memotret hamparan mangrove dari ketinggian.
Lapar di tengah hutan mangrove? Tak perlu khawatir. Sebab, di sejumlah lokasi ada warung makan dengan konsep saung terapung. Makanan berat, termasuk masakan laut, makanan ringan, dan minuman tersedia di sana.
Setelah menghabiskan waktu lebih dari 1 jam menyusuri hutan mangrove, Fathurozi (34), pengunjung asal Slawi, Kabupaten Tegal, terkesan. ”Tempat ini bisa menjadi alternatif wisata selain pantai, khususnya bagi yang mencari ketenangan dan kesejukan. Apalagi, harga tiket masuk ataupun makanan yang dijual terjangkau,” ujarnya.
Untuk menuju kawasan Hutan Mangrove Pandansari di Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, pengunjung harus masuk ke jalur pantura, tepatnya di sebelah barat Rumah Sakit Bhakti Asih. Dari jalur pantura, pengunjung berbelok ke arah utara, mengikuti jalur utama dengan menyusuri jalan beraspal selebar 3,5 meter. Hamparan sawah di kanan-kiri jalan menjadi pemandangan utama jalur itu.
Setelah sekitar 11 kilometer, akan ada gerbang berupa loket serta gapura Hutan Mangrove Pandansari. Dengan membayar Rp 15.000 per orang pada hari biasa dan Rp 20.000 pada akhir pekan, pengunjung dapat menikmati obyek wisata kebanggaan warga Brebes itu sepuas hati. Khusus anak-anak, tarif dipatok Rp 10.000 pada hari biasa dan Rp 15.000 saat akhir pekan.
Sekitar 600 meter dari loket pembelian karcis, pengunjung akan tiba di Dermaga 1. Akan ada perahu motor dengan kapasitas 20 orang dan 50 orang yang menjemput. Didampingi sejumlah kru, pengunjung diantar ke Dermaga 2 sejauh 1,5 kilometer dengan waktu tempuh 15 menit. Dalam perjalanan menggunakan perahu ini, mata akan dimanjakan oleh hijaunya mangrove yang berjajar rapi.
Kicau berbagai jenis burung terdengar bersahutan di antara rimbunnya bakau. Ikan dan kepiting sesekali muncul di antara akar-akar bakau. Untuk pengunjung yang hobi memancing, lokasi ini juga dapat menjadi tempat favorit melepas penat.
Pengunjung juga dapat mengunjungi Pulau Pasir yang terletak tak jauh dari hutan mangrove. Pulau ini merupakan hasil fenomena alam di mana ada teluk dan muara sungai yang membawa sedimen dan memicu terjadinya tanah timbul. Layaknya daratan, pulau ini terhampar di antara tambak warga Pandansari dan Laut Jawa. Luasnya mencapai 10 hektar.
Di sini, pengunjung bisa menikmati hamparan biru Laut Jawa dan aktivitas kapal-kapal nelayan. Di sekelilingnya, tampak hamparan tambak dan rimbun hutan bakau.
Konservasi
Aktivitas wisata semacam ini sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh warga Dukuh Pandansari dan Kaliwlingi. Tujuan awal warga menanam mangrove pada tahun 2005 hanya untuk menyelamatkan desa yang saat itu terus-menerus digerus abrasi. Hingga 12 tahun berselang, upaya tersebut justru menjadikan Desa Kaliwlingi sebagai desa mandiri.
Adalah Mashadi (46) aktor di balik kebangkitan Dukuh Pandansari. Dia mengajak masyarakat pesisir di Brebes untuk tidak pasrah pada kondisi alam. ”Setelah 1995, Dukuh Pandansari rusak akibat ulah petambak yang membudidayakan udang dengan cara yang tak selaras dengan konservasi lingkungan. Kondisi itu diperparah oleh adanya kenaikan muka air laut. Hingga 2017, sudah 1.100 hektar lahan tergerus abrasi,” tutur Mashadi yang juga pembina Paguyuban Mekarsari, kelompok masyarakat bentukannya.
Kerusakan lingkungan menyebabkan kondisi ekonomi warga morat-marit. Mereka kehilangan pekerjaan. Karena itu, pada 2005, warga mulai menanam mangrove, setidaknya untuk menekan laju abrasi.
Periode 2005-2010, Dukuh Pandansari mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk para peneliti dari sejumlah perguruan tinggi. Mereka mendorong agar Pandansari menjadi desa wisata atau ekowisata. Sejak tahun 2016, Dukuh Pandansari dirintis menjadi desa wisata yang mengelola hutan mangrove secara mandiri. Selanjutnya, Kawasan Ekowisata Kaliwlingi resmi diluncurkan pada April 2017 oleh Bupati Brebes Idza Priyanti.
Pengelolaan wisata dilakukan Kelompok Sadarwisata (Pokdarwis) Dewi Mangrove Sari yang merupakan kependekan dari Desa Wisata Mangrove Pandansari.
”Saat ini sudah ditanam 3.850.000 batang mangrove yang berasal dari berbagai perusahaan, komunitas, perseorangan, ataupun pemerintah daerah,” ucap Mashadi.
Dari hamparan luasan pesisir sekitar 250 hektar, sebanyak 210 hektar dikhususkan untuk kawasan konservasi. Sementara 40 hektar lainnya digunakan untuk ekowisata. Namun, menurut Mashadi, dari rencana 40 hektar itu, baru 18 hektar yang terealisasi untuk ekowisata.
”Kami berencana mengembangkan olahraga air, seperti kano dan dayung. Itu untuk kegiatan pemuda di sini, tetapi sebagian untuk atraksi wisata. Ditargetkan mulai awal 2020,” ujarnya.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes Iskandar Agung mengatakan, kendati baru, Desa Wisata Mangrovesari mampu menyabet juara harapan II dalam Festival Desa Wisata Se-Jateng pada 2017. ”Yang paling menonjol ialah pada aspek pemerataan ekonomi untuk kemakmuran warga,” ucapnya.
Hutan Mangrove Pandansari seluas 18 hektar itu kini menjadi primadona baru obyek wisata di Brebes. Pada tahun 2017, rata-rata kunjungan per bulan sekitar 1.000 orang, termasuk komunitas-komunitas lokal. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2016 saat pertama ekowisata tersebut dirintis. Saat itu, pengunjung hanya berjumlah 500 orang per bulan.