KUPANG, KOMPAS — Sebagian besar generasi muda di Nusa Tenggara Timur belum tertarik menjadi petani. Bertani masih dinilai sebagai profesi kelas bawah dibanding pegawai negeri sipil. Hal ini antara lain karena sistem pertanian di NTT belum mengangkat kesejahteraan petani. Mereka butuh sosialisasi.
Hal itu dikatakan Direktur Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (Pikul) NTT Tori Kuswardono dalam ”Festival Pangan Lokal, dan Musik”, Sabtu (24/2), di Kupang. Acara ini melibatkan ratusan kaum muda setempat. Menurut dia, sangat sulit mengajak kaum muda di NTT untuk bertani. Profesi petani belum menggugah semangat mereka untuk menekuni secara profesional.
”Selama ini kebanyakan yang terlibat bertani adalah anak-anak putus sekolah dasar atau lulusan sekolah dasar. Lulusan SMP dan SMA saja sudah gengsi bertani, membantu orangtua, apalagi sarjana. Bahkan, sarjana pertanian saja ingin kerja di kantor meskipun mereka sadar bahwa semua jenis pangan diperoleh melalui pekerjaan sebagai petani,” kata Tori.
Pikul NTT dengan dukungan Oxfam Indonesia melakukan pendampingan terhadap lima kelompok anak muda (50 orang) dari 21 kabupaten di NTT. Mereka mengunjungi petani di Kabupaten Kupang, Malaka, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Belu. Lima desa yang dikunjungi itu punya sejumlah petani yang sukses.
Pikul ingin membawa generasi muda dari lulusan SD, SMP, SMA, dan sarjana ke desa untuk mengonsumsi pakan lokal. Setelah mengonsumsi, mereka diharapkan memahami bahwa pangan itu mampu menghidupkan masyarakat. Mereka belajar menyiapkan lahan, menanam, memupuki (organik), memanen, dan menjual ke pasar.
”Tiap malam hari diperlihatkan gambar visual tentang petani-petani yang sukses, termasuk di antaranya beberapa petani di lahan kering, seperti NTT, yang sukses mengolah lahan dan berhasil membangun ekonomi rumah tangga,” kata Tori.
Selain itu, generasi muda ini pun bertemu dengan petani-petani sukses di NTT dan di luar NTT, seperti di Bali dan Jawa, untuk membangun pemahaman mereka tentang manfaat bertani. Petani pun bisa membangun rumah mewah, memiliki kendaraan mewah, dan bisa berjalan-jalan ke luar negeri apabila profesi itu ditekuni secara profesional.
Dicky Senda, pendiri Yayasan Kujawas, khusus menghimpun anak muda untuk menekuni bidang pertanian, mengatakan, membangun semangat generasi muda untuk bertani butuh waktu dan dengan cara khusus. Berkumpul bersama, berdiskusi membahas persoalan di masyarakat, seperti kemiskinan, rawan pangan, gagal panen, dan gizi buruk, kemudian diiringi bermain musik bersama.
Maya Skolatika Boleng, duta petani nasional pilihan Oxfam 2016, mengatakan, generasi muda butuh pendampingan awal jika mereka ingin menjadi petani. Di beberapa tempat di Jawa, generasi muda sudah mampu menyuplai bahan makanan ke swalayan secara rutin.
Masalah lain adalah sebagian besar petani di NTT juga belum tertarik dengan sistem pertanian organik. Sistem ini dinilai tidak berproduksi sesuai harapan, tidak menguntungkan petani. Padahal, dari sisi kesehatan, sistem organik lebih berdampak positif bagi konsumen ketimbang pertanian dengan bahan kimia.
Dosen Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Lenny Mooy, menyatakan, saat mendampingi kelompok tani di Kabupaten Kupang untuk bertani secara organik, semua petani menolak. Mereka beralasan pertanian organik tidak menguntungkan. ”Sangat sulit meyakinkan petani di sana tentang pertanian hortikultura secara organik. Mereka berdalih tanpa pupuk kimia, tanaman tak bisa tumbuh, berkembang, dan berproduksi dengan baik,” ujarnya. (KOR)