PONTIANAK, KOMPAS — Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimatan Barat telah menyalurkan 1.200 unit alat tangkap ramah lingkungan. Alat tangkap itu diharapkan takkan mengganggu kelestarian ikan. Dengan penyaluran sejumlah alat tangkap tersebut, masih tersisa 325 nelayan dari 1.525 nelayan yang menggunakan cantrang.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalbar Gatot Rudiyono di Pontinakan, Minggu (25/2), mengatakan, penyaluran 1.200 alat tangkap itu dilakukan selama Oktober-Desember 2017. Alat tangkap baru itu sesuai dengan permintaan nelayan, antara lain jaring tiga lapis dan bubu.
”Alat tangkap yang ramah lingkungan itu disalurkan kepada nelayan yang ada di Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya, Mempawah, Bengkayang, Sambas, dan Kota Singkawang, Daerah-daerah itu yang memiliki wilayah pesisir laut,” kata Gatot.
Sebelumnya, banyak nelayan di Kalbar menggunakan alat tangkap mini trawl. Penggunaan alat tangkap itu bisa menghabiskan bibit ikan. ”Berdasarkan data yang dihimpun tim di lapangan, jumlah alat tangkap mini trawl yang dipergunakan nelayan ada 1.525 unit,” ujar Gatot.
Dijelaskan, pergantian alat tangkap itu juga atas kesadaran nelayan ingin mengganti alat tangkap dengan yang lebih ramah lingkungan. Meski demikian, sejauh ini ada pula yang belum bersedia mengganti alat tangkapnya. ”Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar terus berupaya secara bertahap agar semua alat tangkap yang lama diganti dengan alat tangkap yang baru. Caranya, dengan mengoptimalkan peran para penyuluh,” ucapnya.
Kini, Kalbar punya 115 penyuluh perikanan yang tersebar di 14 kabupaten/kota. Jumlah itu belum cukup. Idealnya, Kalbar memiliki 250 penyuluh agar lebih optimal mendampingi nelayan. ”Kami akan gunakan cara persuasif terus-menerus. Ini nelayan kita. Maka, kami akan dampingi mereka sampai mereka punya kesadaran untuk mengganti alat tangkap mereka,” kata Gatot.
Potensi perikanan tangkap di Kalbar mencapai 1,1 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, yang dimanfaatkan baru sekitar 185.000 ton per tahun. Potensi perikanan Kalbar area penangkapan di Laut Natuna dan Laut China Selatan saja mencapai 1,059 juta ton.
Potensi itu baru dimanfaatkan sekitar 35,94 persen dari total potensi yang ada. Potensi perikanan di perairan itu antara lain jenis ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang, serta udang dan cumi.
Optimalkan pengawasan
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman mengapresiasi keseriusan pemerintah dalam mengganti alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Meski demikian, langkah itu dinilai tak cukup. Optimalisasi kelestarian sumber daya laut patut diikuti dengan peningkatan pengawasan di laut. Pencurian ikan kemungkinan tetap marak.
Upaya penenggelaman terhadap kapal asing yang mencuri ikan memang cukup bagus. Akan tetapi, pencurian ikan terutama di wilayah yang sulit terjangkau masih mungkin terjadi. Apalagi, personel dan kapal yang dimiliki negara ini untuk pengawasan di laut juga masih terbatas.
Selain itu, di tingkat hilir, yakni industri pengolahan, hendaknya juga menjadi perhatian. Dengan membangun industri hilir perikanan, nelayan memiliki kepastian pasar sehingga penggantian alat tangkap tidak sia-sia.
Kabupaten Ketapang sebetulnya masuk wilayah pengembangan kawasan industri strategis nasional untuk industri perikanan. Namun, hingga kini belum tampak realisasi dari rencana tersebut. ”Hal itu sangat disayangkan jika tak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Apalagi Kalbar sudah mulai mengekspor sejumlah hasil laut ke China pada Desember 2017. Ikan yang diekspor antara lain udang, cumi, ikan kakap, dan tenggiri. Jumlah yang diekspor saat itu sebanyak 20 ton dengan nilai Rp 1,2 miliar. (ESA)