SURABAYA, KOMPAS — Hingga Minggu (25/2) pukul 18.00, jalur Ponorogo-Pacitan terputus di Kilometer 22 di Tugurejo, Slahung, Ponorogo. Sepanjang 80 meter jalan raya itu tertimbun tanah longsor berketebalan hingga 5 meter. Material penutup berasal dari tebing di sisi jalan yang ambruk menjelang pukul 12.00. Pembersihan material penutup jalan belum selesai.
Kepala Polres Ponorogo Ajun Komisaris Besar Suryo Sudarmadi mengatakan, sepeda motor dan mobil masih bisa menempuh perjalanan antarkabupaten di Jawa Timur barat daya itu. Akan tetapi, pengguna jalan harus melewati jalan alternatif Desa Tugurejo yang selebar 3 meter. Jalur alternatif memutar 2-3 kilometer dari lokasi yang terputus. ”Truk dan bus belum bisa lewat sampai pembersihan jalan selesai,” ujarnya saat dihubungi dari Surabaya.
Sejak awal tahun, jalur di Slahung itu sudah lebih dari 10 kali terputus akibat tanah longsor atau banjir. Jalan berada di tepi tebing yang rentan ambruk. Setelah kawasan diguyur hujan, tebing hampir pasti runtuh. Mencegah tanah longsor dengan penguatan struktur tebing mustahil ditempuh karena biayanya amat besar. Tebing yang harus diperkuat membentang lebih dari 100 kilometer antara Ponorogo dan Pacitan. Yang ditempuh oleh pemerintah dua kabupaten itu adalah menyiagakan alat berat untuk pembersihan material atau untuk perbaikan prasarana yang ambles atau runtuh.
Kapolres Pacitan Ajun Komisaris Besar Setyo Heriyatno menjelaskan, jalur penghubung Desa Karangrejo dan Desa Karanggede di Kecamatan Arjosari terputus akibat banjir dan tanah longsor. Jalur itu rentan putus terkait posisinya di tepi tebing dan Sungai Grindulu. Jalur yang rentan putus membentang antara Pacitan dan Ponorogo melewati kecamatan Arjosari, Tegalombo, dan Slahung. ”Selain jalur Pacitan-Ponorogo, yang juga rentan terputus adalah Pacitan-Trenggalek lewat jalur lintas selatan,” ujar Setyo. Tidak bisa lagi membangun jalur baru yang lebih aman dari serangan banjir atau tanah longsor karena kawasan Pacitan mayoritas perbukitan. Tanah longsor kerap terjadi setelah kawasan diguyur hujan.
Korban tewas ditemukan
Banjir menelan dua korban jiwa di Kabupaten Tuban. Kedua korban itu adalah Hendrik Budy Prasetyo (18), warga Desa Ngadirejo, Kecamatan Rengel, serta Ulifatul Utfiah Masaya (12), warga Ngadipuro, Kecamatan Widang. Hendrik tenggelam di genangan banjir Sungai Bengawan Solo pada Sabtu (24/2) pukul 15.30 di Ngadirejo dan ditemukan pada Minggu (25/2) sekitar pukul 09.00, tak jauh dari titik tenggelam. Sementara Ulifatul ditemukan pada Minggu pukul 15.30 di Dusun Tanggir, Desa Patihan, Widang, beberapa jam setelah dilaporkan tenggelam.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tuban Djoko Ludiyono menjelaskan, Hendrik ditemukan di area sawah tempat tenggelam. Saat kejadian, arus air sangat deras dan kedalaman air mencapai kurang lebih 2 meter. ”Korban ditemukan di dasar air yang merendam persawahan. Jaraknya hanya beberapa meter dari titik jatuhnya,” kata Djoko.
BPBD Lamongan mencatat, luapan Sungai Bengawan Solo menerjang 23 desa di enam kecamatan, yakni Babat, Laren, Karangbinangun, Maduran, Karanggeneng, dan Glagah. Sebanyak 1.681 rumah yang dihuni 8.343 jiwa, 2 masjid, 7 mushala, dan 1 sekolah tergenang. Tinggi genangan berkisar 15-80 cm.
Saliyem (46) dan Painten (48), warga Desa Candisari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, ditemukan tewas setelah hanyut terbawa arus Sungai Kaliurang di Desa Candisari, Kecamatan Bansari, Minggu (25/1). Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 13.00. Ketika itu, di tengah hujan, kedua perempuan yang baru saja selesai bertani berjalan pulang dengan melewati jalan setapak. Namun, tiba-tiba, jalan yang dilewati longsor dan keduanya terlempar masuk ke dalam sungai yang saat itu debit airnya meningkat. ”Dua korban ini terbawa arus sekitar 1 kilometer dari lokasinya semula,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Temanggung, Gito Walngadi, kemarin.
Tak tahan lagi
Sekitar 1.230 warga yang tersebar di enam RT di Desa Wanga, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, NTT, mendesak pemkab setempat segera membangun beronjong untuk menahan luapan banjir Kali Laura yang terletak 300 meter dari permukiman mereka. Setiap musim hujan tiba, warga di desa itu selalu dilanda banjir Kali Laura. Banjir itu bersumber dari Gunung Laura.
”Kami sudah tidak tahan lagi terus ditimpa bencana banjir. Tahun 2017, lima kali kami mengalami musibah serupa. Tahun ini sudah berlangsung tiga kali. Kejadian terakhir pada Jumat-Sabtu ini,” kata warga. Kali Laura yang berada sekitar 300 meter dari enam RT ini terus mengalami pendangkalan sehingga jalur kali itu sama tinggi dengan permukaan lahan warga. Kali Laura selama ini jarang dialiri air, termasuk saat musim hujan. Namun, kali ini tiba-tiba dialiri air berlimpah dan timbul banjir.
Bupati Sumba Timur Gideon Mbilijora mengatakan, banjir itu bersumber dari Gunung Laura. Banjir terjadi karena ulah warga setempat yang tidak menjaga dan merawat lingkungan. Namun, ia berjanji segera memperbaiki tujuh gorong-gorong yang rusak tergerus air banjir. ”Jika semua debit air masuk melalui gorong- gorong, tidak mungkin terjadi banjir. Lebar gorong-gorong terlalu sempit. Selain itu, ada juga yang tersumbat material longsor sehingga memicu banjir. (BRO/ACI/EGI/KOR)