JAMBI, KOMPAS — Lahan basah seluas 121.300 hektar di Taman Nasional Berbak Sembilang di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, dalam kondisi sangat kritis dan kritis. Untuk itu, dibutuhkan upaya pemulihan secepatnya.
Kepala Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) Pratono Puroso mengatakan, dari total luas taman nasional itu 344.158 ha, kondisi yang sangat kritis mencapai 3.992 ha, kondisi kritis 88.850 ha, dan kondisi agak kritis 28.458 ha. Selain itu, 66.643 ha lainnya berpotensi kritis.
Sementara yang kondisinya tidak kritis seluas 175.328 ha. ”Kondisi kritis tersebut disebabkan kebakaran hutan dan perambahan,” kata Pratono di sela Lokakarya Peringatan Hari Lahan Basah Dunia, Senin (26/2), di Jambi.
Ia mencontohkan, pada 2015 kebakaran menghanguskan 29.438 ha kawasan tersebut. Itu belum termasuk kebakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya dan perambahan 14.080 ha. Selebihnya kerusakan dari sisa kebakaran pada masa lalu. Dari luas itu, sejauh ini, baru 4.334 ha yang tengah direhabilitasi.
TNBS seluas 344.158 ha merupakan penggabungan Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Sembilang. TNB merupakan lokasi konservasi dan pemanfaatan lahan basah yang berkelanjutan pertama di Indonesia. Sebelumnya kawasan ini berstatus Suaka Marga Satwa Berbak seluas 190.000 ha pada tahun 1935. Kemudian pada 2005 menjadi taman nasional dengan luas 141.261 ha.
Berbak adalah kawasan hutan rawa gambut yang unik dan terluas. Di dalamnya teridentifikasi 23 spesies palem dan menjadikan kawasan ini sebagai rawa gambut terkaya dengan tanaman palem. Terdapat di dalamnya 261 jenis tumbuhan, 224 spesies burung, serta beragam satwa dilindungi, seperti badak, harimau sumatera, dan tapir.
Adapun kawasan Sembilang merupakan hutan mangrove terluas di bagian barat Indonesia, dan dalamnya terdapat antara lain 53 jenis satwa, seperti harimau sumatera, beruang madu, kucing emas, gajah, lumba-lumba sirip punggung, lumba-lumba bungkuk indopasifik, buaya, dan 32 jenis burung air.
Selain di hutan, persoalan lahan basah juga dialami kawasan perkotaan. Yus Rusila Noor dari Kepala Program Wetlands International Indonesia menyebut subsidensi tengah mengancam masa depan keberlanjutan di kota-kota besar. Sejumlah kota, seperti Semarang dan Jakarta, terancam tenggelam.
Kepala Seksi Konservasi Lahan Basah dan Mangrove, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Inge Yangesa mengatakan telah bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial memetakan satu peta lahan basah seluas 3,4 juta ha mangrove di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Pihaknya mendukung rehabilitasi dan ekowisata dikembangkan demi memberi nilai tambah bagi masyarakat setempat. (ITA)