SIDOARJO, KOMPAS — Total beras impor yang masuk ke Jawa Timur saat ini mencapai 40.000 ton dari rencana 120.000 ton. Sebagian beras disimpan di gudang setelah dibongkar dari kapal.
Wakil Kepala Bulog Divre Jatim Cecep Panji Nandia, Senin (26/2), mengatakan, pihaknya belum mengetahui secara rinci rencana pendistribusian beras impor yang masuk Jatim. Bulog Divre Jatim hanya mendapat informasi bahwa beras impor yang dibongkar di wilayahnya diperuntukkan bagi sejumlah daerah di Indonesia timur, seperti Provinsi Papua dan Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Maluku.
Seperti diberitakan, pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan impor 500.000 ton beras untuk memperkuat cadangan pangan, stabilisasi harga, dan antisipasi penanganan bencana. Sebanyak 120.000 ton di antaranya direncanakan masuk melalui pelabuhan di Jatim.
Saat ini 20.000 ton beras dari Vietnam telah dibongkar di Pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi, dan 20.000 ton beras dari Thailand dibongkar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Beras tiba di Tanjung Perak pada 20 Februari. Namun, baru 12.000 ton yang masuk gudang. Sisanya, 8.000 ton, masih di kapal. Kegiatan pembongkaran dari kapal terhambat cuaca yang kerap terjadi hujan deras. Beras impor disimpan di gudang Bulog Divre Jatim di Kecamatan Buduran, Sidoarjo.
Beras dari Thailand berwarna putih bersih dan berbulir panjang. Beras yang dikemas dalam karung Bulog itu memiliki kadar pecah (broken) 5 persen dan 15 persen. Bulog Divre Jatim menjamin wilayahnya hanya untuk transit beras impor dan bukan tujuan distribusi. Sebab, Jatim merupakan sentra produsen pangan terbesar nasional.
Penyimpanan mahal
Menurut Cecep, beras harus segera didistribusikan karena diprediksi hanya mampu bertahan maksimal tiga bulan.
”Jika disimpan lebih lama, beras rawan mengalami penurunan kualitas. Biaya perawatan juga mahal karena perlu perlakuan khusus untuk menjaga kualitas,” ujar Cecep.
Perlakuan khusus itu antara lain penyemprotan gudang untuk pencegahan serta kegiatan kuratif, seperti fumigasi, jika terjadi serangan hama. Selama penyimpanan di gudang, beras rawan serangan hama, seperti kumbang (Coleoptera) dan ngengat (Lepidoptera). Serangan hama berdampak pada kerusakan fisik, perubahan warna, penurunan nilai gizi, serta penyusutan berat.
Untuk penyimpanan beras jangka panjang, Bulog menggunakan teknik inkonvensional CO2 stack dan teknik terbaru Cocoon yang lebih ramah lingkungan. Prinsipnya menghilangkan oksigen agar hama tak bisa makan dan bereproduksi pada beras. Namun, biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal.
Perlu pengawasan
Anggota Komisi IV DPR, Bambang Haryo, mengatakan, satgas pangan harus turun ke lapangan untuk mengawasi agar beras impor tidak merembes ke pasar. Rembesan beras impor bisa menghancurkan harga beras petani lokal di tengah masa panen raya yang berlangsung hingga April.
”Memang panen di Jatim saat ini kurang maksimal karena banjir di sejumlah sentra produksi, seperti Bojonegoro dan Lamongan. Namun, secara keseluruhan hasil panen di Jatim masih surplus,” katanya.
Pengawasan harus dilakukan sejak proses kedatangan kapal pengangkut, proses bongkar di pelabuhan dan muat ke truk, penyimpanan di gudang, hingga pengiriman beras ke daerah tujuan. Dengan jumlah beras yang besar, yakni 120.000 ton, pengawasan bukan perkara mudah.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno berharap Bulog tetap menyerap beras petani meski telah memiliki cadangan beras impor. Kebijakan impor beras sebenarnya belum diperlukan karena panen masih melimpah dan saat ini seharusnya menjadi momentum menyerap gabah petani secara maksimal.
Sebagai gambaran, target serapan beras Bulog secara nasional pada tahun ini 2,7 juta ton setara beras. Sebanyak 697.000 ton di antaranya dari Jatim. Hingga akhir Februari ini, Bulog Divre Jatim menyerap beras petani 18.000 ton. (NIK)