Keracunan Penyu, 3 Warga Mentawai Tewas
MENTAWAI, KOMPAS — Sebanyak 90 warga Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menderita keracunan setelah makan daging penyu. Tiga orang meninggal dunia dan belasan orang harus dirawat secara intensif.
Nurdin, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Mentawai, saat dihubungi dari Padang, Senin (26/2), mengatakan, kejadian itu bermula saat seekor penyu yang ditangkap warga dipotong pada Senin (19/2). Setelah itu daging penyu dibagikan kepada seluruh warga kampung. Sehari kemudian, yakni Selasa (20/2), warga mengalami pusing, sakit tenggorokan, lemas, dan sakit perut.
Hingga Kamis (22/2), tiga orang meninggal berturut-turut. Ketiganya adalah Tatra Manai (50) dan dua anak balita yang berusia dua tahun dan tiga tahun. Sementara itu, 12 orang harus dirawat intensif di puskesmas setempat. ”Sejauh ini, mereka tidak sampai dirujuk ke ibu kota kabupaten di Tua Pejat, atau ke Padang. Masih bisa kami tangani,” kata Nurdin.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Mentawai Lahmuddin Siregar mengatakan, korban yang sempat dirawat pada Senin lalu sudah pulang ke rumah. Meski demikian, mereka masih menjalani rawat jalan. Petugas kesehatan terus memantau kondisi mereka.
Taileleu adalah salah satu desa di Kecamatan Siberut Barat Daya, Kepulauan Siberut, sekitar 155 kilometer dari Padang, ibu kota Sumbar. Kepulauan Siberut bisa ditempuh dalam 4 jam dengan kapal cepat, atau 12 jam dengan kapal feri. Untuk mencapai Taileleu dari Pelabuhan Muara Siberut, juga harus menggunakan jalur laut dengan kapal motor (boat) selama kurang lebih 1,5 jam. Jalur darat ke wilayah itu masih berupa jalan setapak melintasi hutan, dan tidak selalu bisa dilalui terutama saat hujan.
Keracunan di Taileleu menambah daftar kejadian serupa di Mentawai. Sesuai data Pusat Data dan Informasi Penyu Indonesia Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, sudah ada 37 orang yang meninggal akibat keracunan penyu sejak 2005. Sebelumnya, Maret 2013, terjadi keracunan di Dusun Sao, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, sekitar 66 kilometer dari Tua Pejat, ibu kota Mentawai. Saat itu, ratusan orang keracunan dan empat di antaranya meninggal.
Sudah tradisi
Nurdin mengatakan, menangkap penyu menjadi tradisi warga Mentawai. Bahkan, menjadi kebanggaan jika berhasil mendapatkan penyu yang kemudian bisa dibagi kepada warga lainnya.
Hal serupa disampaikan Peneliti Aktif Penyu dan Pulau-Pulau Kecil yang juga Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Indonesia UBH Padang, Harfiandri Damanhuri. Menurut Harfiandri, masyarakat Mentawai percaya bahwa mereka tidak akan mati jika memakan penyu.
Apalagi, mereka punya cara tersendiri untuk membedakan mana penyu beracun dan yang tidak beracun. ”Berkembang pemikiran, kalau penyu itu berusus pendek, bisa dimakan. Sementara kalau ususnya panjang, tidak boleh karena beracun,” katanya.
Sayangnya, menurut Harfiandri, pemikiran itu tidak bisa terus dibiarkan. Apalagi kondisi dulu dengan kini berbeda, terutama jika dikaitkan dengan kondisi perairan laut yang makin tercemar. ”Ada penyu-penyu di Samudra Hindia yang sangat tercemar logam berat. Baik yang masuk langsung maupun lewat makanan mereka, seperti rumput laut,” kata Harfiandri.
Menurut dia, berdasarkan kejadian pada 2013, dari pemeriksaan sampel penyu yang dikonsumsi masyarakat Mentawai, ditemukan kandungan arsenik yang tinggi. Arsenik adalah salah satu zat yang sangat beracun. ”Jika sampai terkonsumsi, dalam hitungan jam bisa menyebabkan kematian,” kata Harfiandri.
(ZAK)