Lintasan Rentan di Jalur Padat
Berada di jalur rawan, lintasan kereta api di Pulau Jawa makin rentan terimbas bencana alam. Itu terjadi hampir setiap tahun, terutama saat musim hujan.
Kereta satu gerbong berkelir kuning itu tiba-tiba berhenti di rel antara Stasiun Losari dan Stasiun Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Sabtu (24/2) siang. Bodinya seperti berdiri di atas air. Rel terlihat samar-samar terendam air berwarna coklat Sungai Cisanggarung.
Sejak sehari sebelumnya, sungai ini meluap. Tak hanya menutup rel, hamparan sawah di sekitarnya terlihat seperti segara.
”Bagaimana, Pak? Berapa?” tanya seorang petugas PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi III Cirebon yang berada di atas kereta.
Dadan Rahmat (51), petugas lainnya, sontak turun ke dalam air. Dia ambil meteran mengukur tinggi air dari bagian rel paling atas. ”Sembilan sentimeter,” ujar pria berumur 51 tahun itu. ”Bagaimana Pak, lanjut atau tidak?” kata Dadan ganti bertanya.
Kali ini, pertanyaan itu diajukan kepada Direktur Keselamatan dan Keamanan PT KAI (Persero) Apriyono Wedhi. Kompas ikut bersama Apriyono dalam kereta yang lazim disebut profille balast regulator (PBR) itu. PBR adalah kereta perawatan teknis yang kerap digunakan apabila rel tertutup air atau lumpur. Kereta ini dilengkapi fasilitas pemadatan kerikil mencegah rel tidak amblas atau bergeser. Selain kereta PBR, lebih dari 20 petugas juga ikut memadatkan bebatuan kerikil di rel menggunakan alat garuk, mirip garpu di ujungnya.
Setelah terdiam sejenak, Apriyono memutuskan melanjutkan perjalanan. Dengan badan gerbong lebih tinggi dibandingkan kereta penumpang, PBR tetap aman melaju melintasi rel yang terendam air meski perlahan.
”Kami tak bisa memprediksi kapan perjalanan kereta api dapat normal saat ada bencana banjir. Dibandingkan longsor, banjir sulit diprediksi. Kami hanya bisa menunggu surut dan memeriksa jangan sampai balas (beban bagian bawah rel) yang hanyut,” ujar Apriyono.
Lumpuh
Vice Presiden PT KAI Daop III Cirebon Dwi Erni Ratnawati mengatakan, banjir ini di luar kendali. Daerah rawan banjir di Daop III Cirebon biasanya hanya di lintas Tanjung Rasa-Cikampek, Jabar. Ditambah banjir di jalur selatan Cirebon-Purwokerto, keadaan itu terasa sangat mengejutkan.
”Lumpuhnya jalur selatan dan utara secara bersamaan merupakan kejadian pertama,” katanya. Ini berdampak pada perjalanan kereta api. Sebab, wilayah Daop III Cirebon merupakan jalur utama dari Jakarta menuju Jawa. Setidaknya ada 130 perjalanan setiap harinya di Daop III Cirebon.
Akibatnya tidak sederhana. Jalur utara lumpuh selama 24 jam. Jalur selatan juga tak beroperasi sekitar 6 jam. Belasan perjalanan KA terhambat. Nasib penumpang tak menentu. Bahkan, KA barang telat hingga 11 jam.
Curah hujan tinggi dalam sebulan terakhir disebut sebagai penyebab utamanya. Curah hujan mencapai 263 milimeter, atau lima kali lipat daripada curah hujan biasanya.
Namun, air tak datang sendirian. Ikut hanyut pula batang pohon dan sampah rumah tangga yang sebelumnya tersedimentasi di dasar sungai. Keberadaan bangunan milik warga di sekitar rel ikut memperparah keadaan karena berdiri menutup drainase.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat meninjau jalur KA lintas utara itu, Minggu (25/2), membenarkan curah hujan tinggi dan sedimentasi adalah pemicu banjir. Jika terus dibiarkan, kejadian serupa terulang setiap musim hujan.
Budi Karya tak keliru. Sungai Cisanggarung sudah lama ”menderita”. Berhulu di Kuningan, melintasi Cirebon, dan bermuara di Brebes, sungai itu digerogoti sampah dan sedimentasi tanah. Salah satu titik alirannya berasa di pinggir tempat pembuangan sampah Ciledug, Cirebon.
”Sedimentasi ini yang membuat aliran sungai terganggu. Kami akan lihat apa yang bisa dilakukan bersama pemda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kami sendiri berencana meninggikan rel di jalur ini,” ujarnya.
Budi Karya patut cemas, curah hujan tinggi kerap membuka bahaya di jalur KA. Jika di Brebes baru pertama kali, jalur kereta di selatan Jabar sudah lama ”menderita”.
Hampir setiap musim hujan, longsor kerap terjadi mengancam nyawa manusia. Minim daerah resapan air dan maraknya alih fungsi lahan jadi bangunan serta kebun semusim menjadi pemicunya.
Berdasarkan data PT KAI, wilayah rawan longsor lain di Jabar ada di jalur Cikadongdong-Cilame sejauh 42 km dan jalur Awipari-Karangpucung 28 km. Keduanya ada di Kabupaten Tasikmalaya.
Jalur rawan lain berada di rute Stasiun Cimekar-Haurpugur-Nagreg (Kabupaten Bandung) 22 km dan jalur Stasiun Ciganea-Sukatani-Plered (Purwakarta) sepanjang 11 km. Pada Rabu (21/2), ambelasan kecil di jalur KA sempat terjadi di sekitar Sukatani.
Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranoto Djoko Setidjowarno menilai beragam bencana menjadi peringatan serius. Apalagi sejumlah titik kawasan sekitar rel KA menjadi rawan bencana. Ini akibat minimnya daerah resapan sekitar rel KA sehingga bencana mendekat saat musim hujan.
Lintasan KA jalur utara kembali aktif pada Sabtu sore atau sehari setelah banjir besar datang. Kecepatan kereta saat itu antara 5-25 km per jam. Saat itu, hujan deras tak seperti sebelumnya. Alam berbaik hati pada kepada para petugas yang dilanda kelelahan menangani bencana itu.
(Abdullah Fikri Ashri)