Semangat Berbagi Membantu Pengungsi
Puluhan anak berkumpul membentuk lingkaran besar di halaman Sekolah Dasar Windusakti, Senin (26/2) pagi. Anak-anak pengungsi warga Desa Capar, Salem, Brebes, pun saling bergandengan tangan. Mereka bersorak-sorai dan bermain bersama dengan arahan relawan-relawan pemandu trauma healing. Sejenak mereka merasakan kegembiraan di tengah ketidakpastian di pengungsian.
Setelah perkenalan singkat, anak-anak dibagi dalam kelompok kecil yang terdiri atas 6 anak. Setiap kelompok membentuk lingkaran kecil dan diminta menyanyikan bersama lagu ”Pelangi”.
Sambil bernyanyi, anak-anak diminta berkonsentrasi mendengar aba-aba. Jika pemandu berteriak 3-4, kelompok 3 bertukar posisi dengan kelompok 4. Dengan semangat dan sigap, anak-anak pun berlari bersama kelompoknya untuk berpindah tempat sesuai aba-aba.
Pemandu kemudian mengajak anak-anak berlomba memindahkan bola pingpong dari satu tempat ke tempat lain yang berjarak sekitar 10 meter menggunakan potongan pipa paralon yang dipegang setiap anak. Perlu kerja sama, fokus, dan kecepatan agar bola pingpong sampai di tujuan. ”Ayo cepat, hati-hati, jangan sampai jatuh,” teriak Amel (10), menyemangati teman-teman satu timnya.
Koordinator Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ranto Canyon, Zainul Fahmi, mengatakan, kegiatan ini untuk mengisi waktu luang anak-anak karena sekolah di tempat asal mereka diliburkan.
Dengan hiburan permainan itu, diharapkan trauma anak- anak pada bencana berkurang. ”Harapannya agar mereka lupa akan bencana ini. Mereka tetap bahagia, dan kuat menghadapi cobaan,” katanya.
Kerelaan berbagi dilakukan oleh keluarga besar SD Windusakti. Para guru dan siswa sekolah itu mempersilakan pengungsi menggunakan gedung sekolah. Sebagai konsekuensi, kegiatan belajar-mengajar dilakukan di rumah-rumah warga. Dengan adanya peristiwa ini, mereka belajar menumbuhkan rasa kemanusiaan. ”Ini mengembangkan rasa kemanusiaan dan rasa persaudaraan,” kata Fahmi.
Para siswa kelas VI, misalnya, belajar secara lesehan di rumah Riswan (56) dan Tatik (41), warga RT 001 RW 001 Desa Windusakti. Beralaskan karpet, 10 murid belajar Matematika dan Bahasa Indonesia di ruang tamu berukuran 2 meter x 3 meter. ”Kasihan rumah mereka kebanjiran,” kata Warsi (12), salah satu siswa, menanggapi ruang kelasnya yang digunakan para pengungsi.
Bertahan di pengungsian
Sudah empat hari 669 warga Desa Capar, Kecamatan Salem, hidup di sejumlah lokasi pengungsian di Desa Windusakti karena lumpur sisa banjir bandang pada Jumat lalu masih mengepung rumah mereka. Dari jumlah itu, ada 5 ibu hamil, 24 anak balita, 24 anak usia PAUD, dan 44 siswa SD dari Desa Capar. ”Rasanya gelisah berada di pengungsian. Di desa orang. Meski warga di sini baik dan memberi bantuan, kami tetap sungkan karena merepotkan mereka,” kata Nining (23), warga Desa Capar, yang mengungsi bersama suaminya, Wahya (31), dan kedua anaknya.
Tidur beralaskan matras dan tikar anyaman daun pandan bersama puluhan orang di dalam ruangan kelas berukuran 6 meter x 6 meter membuat anak bungsunya, Angga (2), terus merengek meminta pulang. ”Kalau rewel, ia selalu minta pulang ke rumah,” kata Nining.
Sementara itu, Carsono (50) harus menahan sakit saluran kencing yang kambuh akibat kelelahan. ”Buat kencing terasa sakit dan perih. Kadang sampai berdarah,” ujarnya, pengungsi Desa Capar yang sedang tidur tengkurap sambil dipijat saudaranya. Carsono berharap tidak ada banjir lumpur lagi di desanya agar semua warga dapat pulang ke rumah. Namun, jika harus relokasi, ia pun pasrah.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Brebes Eko Andalas menyatakan, berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, pihaknya melarang warga di pengungsian kembali ke rumah karena potensi longsor masih akan terjadi.
”Kami belum tahu sampai kapan warga di pengungsian. Kami juga akan menyiapkan langkah-langkah relokasi sesuai rekomendasi Badan Geologi,” kata Eko.
Semangat berbagi
Longsor di Desa Pasir Panjang mendorong warga Desa Bentar, yang bersebelahan dengan Desa Pasir Panjang, menyumbangkan makanan.
Senin siang, Greta Nizar (24), warga Desa Bentar, beristirahat dari kegiatan di dapur umum. Ia mengambil nasi dari bakul (tempat nasi) berukuran besar di teras salah satu pertokoan untuk sejenak makan siang. Saat seorang relawan berkaus oranye lewat, Greta langsung menyiapkan dua nasi bungkus, lalu menyerahkan dengan ramah.
Greta adalah inisiator dapur umum swadaya di Desa Bentar. Di dapur itu, bahan makanan yang dikirim warga dimasak. Dukungan terus mengalir, baik berupa bahan makanan, makanan instan, maupun uang. Setiap bantuan didata rinci dan diunggah di Facebook.
”Sejumlah dusun memberi bantuan uang Rp 200.000 hingga Rp 1,2 juta. Bahkan, ada sumbangan dari satu perusahaan BUMN Rp 10 juta. Dapur umum didukung semangat para ibu untuk memasak,” kata Nani Mulyani (49), ibu Greta yang ikut membantu dapur umum.
Ada 60 ibu dan bapak yang terlibat dalam kepanitiaan dapur umum swadaya. Menu yang dimasak pun bervariasi setiap hari. Mereka menyediakan makanan bagi korban terdampak serta para relawan dari tim gabungan yang mencari korban longsor. Sepanjang hari Minggu (25/2), mereka menyiapkan 1.200 nasi bungkus.