KUPANG, KOMPAS — Sektor penelitian dan pengembangan di organisasi pemerintahan daerah belum menjadi motor penggerak penyusunan kebijakan dan pembangunan di daerah.
Padahal, produk litbang diperoleh melalui sebuah penelitian dan riset mendalam, sesuai sumber daya alam, kebutuhan masyarakat, dan partisipasi masyarakat. Sangat disesali, jika hasil riset menelan biaya jutaan rupiah itu hanya dipajang begitu saja.
Asisten I Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Fernandes pada seminar penguatan kapasitas Penelitian dan Pengembangan (Litbang) NTT di Kupang, Jumat (2/3), mengatakan, peran serta litbang selama ini masih diabaikan oleh pengambil kebijakan.
Padahal, kehadiran litbang melakukan penelitian, pengembangan, bahkan riset untuk mendukung pembangunan di daerah.
”Litbang terkesan berjalan sendiri, kebijakan pemda berjalan sendiri. Artinya, hasil-hasil temuan litbang masih sebatas dokumen dan administrasi, belum diformulasikan dan diimplementasikan oleh pengambil kebijakan. Selain karena temuan litbang tidak sesuai visi dan misi gubernur atau bupati/wali kota, juga tidak sesuai kebutuhan masyarakat,” kata Fernandes.
Belum ada sinkronisasi antara program litbang dan visi misi pemda. Lembaga litbang tidak sekadar hadir di jajaran organisasi perangkat daerah (OPD).
Litbang ada untuk melakukan penelitian, survei, pengembangan, dan bahkan riset terkait sumber daya alam, permasalahan sosial kemasyarakatan, dan sumber daya manusia.
Peran dan fungsi litbang hampir sama dengan tugas-tugas penelitian, riset, dan pengembangan pembangunan di perguruan tinggi. Namun, selama ini OPD litbang dan perguruan tinggi belum melakukan kerja sama menyeluruh terkait hasil-hasil penelitian itu, kecuali tenaga ahli (dosen).
Ia mengatakan, NTT baru memiliki empat kantor OPD litbang, yakni Malaka, Timor Tengah Selatan, Kota Kupang, dan Sumba Barat. Kabupaten lain, bidang litbang bergabung di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Setiap daerah menjalankan fungsi litbang meski peran dan manfaat litbang ini belum diimplementasikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Meski demikian, ia mengatakan, Litbang Provinsi NTT telah menghasilkan beberapa produk yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain tentang pertanian lahan kering dan riset tentang tulang ikan yang saat ini dimanfaatkan sebagai kerupuk ikan.
Sekarang sedang dikembangkan riset tentang dodol, kue, dan sirup dari nira lontar, sagu dari pohon gewang (sejenis palm), dan riset tentang pohon cendana.
Ia mengatakan, hasil-hasil litbang dari OPD dan perguruan tinggi akan dipadukan. Untuk merealisasikan hasil litbang harus dibahas bersama di DPRD. Jika disetujui, hasil litbang diimplementasikan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat.
John Tuba Helan, dosen Undana, Kupang, mengatakan, satu penelitian atau riset menghabiskan biaya paling rendah Rp 10 juta paling tinggi Rp 1 miliar, tergantung permasalahan yang akan diteliti. Sayang, kalau hasil-hasil riset setiap tahun anggaran tidak dimanfaatkan.
Banyak hasil penelitian Undana ditawarkan ke pemprov dan pemkab/pemkot, tetapi tidak diimplementasikan. Ego sektoral masih terlalu kuat di birokrasi. Beberapa hasil penelitian ditawarkan ke pemprov tidak digunakan.
Misalnya, penelitian tentang pertanian lahan kering, pakan ternak, cendana, dan terakhir tentang gula air dari lontar yang diproses menjadi dodol, sirup, dan kue. Mereka tidak gunakan, tetapi kemudian mereka melakukan penelitian tentang hal itu.
Ia mengatakan, gubernur yang akan datang perlu membangun kerja sama dengan perguruan tinggi secara lebih kuat terkait penelitian. Apabila perlu, dibuat perda atau surat keputusan untuk memanfaatkan hasil riset yang dinilai sesuai kebutuhan masyarakat dan program kerja pemda.