Nelayan Pati Jadi Contoh
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja, di sela-sela pendataan dan verifikasi kapal cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo, Juwana, Pati, Kamis (1/3), mengatakan, respons baik dari para pemilik kapal memperlancar masa peralihan.
”Mereka pelopor penggantian alat tangkap. Sebelumnya ada sekitar 400 kapal, sekarang tinggal 179 kapal yang belum beralih alat tangkap,” katanya.
Menurut Sjarief, hal itu karena jiwa kemaritiman para nelayan di Pati lebih kuat daripada daerah lain. Nelayan Pati terbiasa melaut jarak jauh lebih dari sebulan. Sejak 2016, separuh dari total kapal cantrang beralih ke alat tangkap lain, seperti rawai dasar, pancing, gillnet, dan purse seine.
Di Pati, kata Sjarief, ada nelayan yang sudah pindah tempat melaut ke Dobo di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, dengan hasil tangkapan bagus. Mereka rata-rata mendapat kakap merah dengan harga jual Rp 65.000-Rp 70.000 per kilogram (kg).
Hadi Sutrisno (39), pemilik kapal asal Pati yang telah beralih alat tangkap, mengatakan, sejak awal 2017, ia tak lagi menggunakan cantrang. Dari 5 kapalnya, 2 di antaranya memakai gillnet, 2 kapal memakai alat pancing, dan 1 lagi dengan purse seine.
Hadi mengatakan, sebelumnya, dengan cantrang, kapalnya paling jauh melaut di sekitar Selat Makassar. Setelah beralih alat, jangkauannya hingga Laut Arafura. Sekitar 70 persen tangkapannya berupa kakap merah.
”Namun, untuk beralih alat tangkap, memang butuh waktu, terutama jika ke gillnet. Sebab, sumber daya manusia masih kurang, harus belajar lagi. Saya memilih beralih karena ingin usaha tangkapan yang aman dan diizinkan pemerintah,” ucapnya.
Kendala modal
Meski separuh nelayan sudah beralih alat tangkap, sebagian lagi mengaku belum yakin karena terkendala modal. Salah satunya Eko Budi Santoso (34). Menurut dia, keluarganya sudah 25 tahun menggunakan alat tangkap cantrang. Meski berniat beralih, dia mengaku kesulitan modal. Apalagi dia memiliki tiga kapal.
”Untuk mengganti alat tangkap, satu kapal butuh biaya Rp 4 miliar. Sekarang saya masih utang di bank sekitar Rp 10 miliar. Butuh waktu tidak sebentar untuk beralih. Kami juga menunggu contoh bahwa alat tangkap lain lebih menguntungkan,” ujarnya.
Dengan cantrang, Budi mengaku sekali melaut meraup pendapatan kotor sekitar Rp 300 juta, modalnya Rp 150 juta. Dengan sistem bagi hasil bersama nakhoda dan 15-20 anak buah kapal, pemasukan bersihnya sekitar Rp 60 juta. Jika setahun, kapal melaut 7-8 kali, pendapatan Budi mencapai Rp 480 juta.
Bank siap bantu
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang kemarin berbincang dengan para nelayan cantrang di Pati mengemukakan, sejumlah bank, seperti BRI, siap memberi bantuan modal bagi para pemilik kapal yang mau beralih ke alat tangkap ramah lingkungan.
Menurut Susi, jika dirasa berat karena masih memiliki utang di bank, nelayan bisa meminta kepada bank untuk menunda pembayaran cicilan selama setahun.
”Yang mendapat (bantuan perbankan) segera alih alat tangkap. Saya mengurusi tinggal delapan bulan ke depan. Setelah itu tidak ada waktu. Dengan SKM (surat keterangan melaut untuk cantrang) nanti, Anda akan tertinggal. Segera ganti, mumpung ada bank yang memfasilitasi. Ini semua karena kami tak ingin asing masuk ke laut Indonesia,” kata Susi.
Kepala BRI Kantor Cabang Pati Romdon Dwi Prihantono mengatakan, selama ini tidak ada kredit macet dari para nelayan Pati. Sejak 2016, sekitar Rp 43 miliar dikucurkan dalam proses peralihan alat tangkap di Pati. Sementara yang sedang dalam pengajuan sekitar Rp 7 miliar.
”Selama perputaran uang baik, nelayan bisa mengambil pinjaman. Bisa juga dengan mengajukan grace period. Artinya, saat belum ada cashflow karena belum berlayar, pembayaran ditangguhkan dulu, misalnya selama 5-6 bulan,” kata Romdon.
Pati merupakan sentra nelayan cantrang ketiga di Jateng setelah Kota Tegal dan Kabupaten Rembang yang didatangi KKP untuk didata dan diverifikasi. Sjarief optimistis peralihan dari cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan dapat selesai tahun ini. (DIT)