Hingga Kamis (3/1) sore, warga Desa Pinara menempati enam lokasi pengungsian, antara lain Aula Ciniru dan gedung veteran setempat. Mereka tidur beralaskan tikar dan kasur tipis. Sementara kebutuhan akan makanan dipasok dari dapur umum yang didirikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kuningan dan pemerintah setempat.
”Sekarang yang warga butuhkan adalah kepastian relokasi. Kami bersedia direlokasi. Kalau kembali ke rumah pasti tidak aman,” ujar Ketua RT 001 RW 001 Desa Pinara, Jaya Saputra. Dia berharap tempat relokasi yang baru memiliki kemudahan akses transportasi dan aman dari pergerakan tanah.
Sebelumnya, pada Rabu (21/2), semua warga Desa Pinara yang berjumlah 1.196 orang terpaksa mengungsi setelah tanah bergerak dan longsor terjadi. Bencana itu dipicu hujan deras sekitar 12 jam. Tidak ada korban jiwa, tetapi jalan desa sejauh 6,5 kilometer rusak berat akibat longsor. Warga pun terpaksa dievakuasi dengan digendong menggunakan sarung.
Desa Pinara yang berjarak sekitar 21 kilometer dari pusat kota Kuningan memiliki topografi dengan kemiringan hingga 45 derajat. Lokasinya berada lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. ”Kalau longsor di jalan sudah biasa. Tapi, tanah bergerak seperti sekarang di sekitar perumahan baru pertama kali terjadi,” ujar Jaya yang telah menetap puluhan tahun di Pinara.
Pinara adalah satu dari tujuh desa di empat kecamatan yang terdampak tanah bergerak dan longsor. Kecamatan lainnya adalah Karangkancana, Ciniru, Maleber, dan Subang. Total pengungsi hingga Kamis sore mencapai 2.575. ”Kami belum bisa memastikan sampai kapan warga mengungsi. Sebab, potensi tanah bergerak dan longsor masih ada,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Kuningan Agus Mauludin.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tengah mengkaji kondisi tanah itu. ”Selain Pinara, daerah yang masih dikaji untuk relokasi adalah Margacina (Karangkancana) dan Cipakem (Maleber),” ujarnya.