SURABAYA, KOMPAS — PT Perkebunan Nusantara X mulai menanam kedelai di lahan tebu yang memasuki masa bero atau produktivitas menurun. Kedelai dipilih karena mampu mengembalikan unsur hara tanah sekaligus menjadi bagian untuk mewujudkan swasembada kedelai pada 2019.
Direktur Utama PTPN X Dwi Satriyo Annurogo, Jumat (2/3), di Surabaya, mengatakan, penanaman kedelai mulai dilakukan di lahan hak guna usaha seluas 30 hektar di Djengkol, Kediri, Jawa Timur. Kedelai yang ditanam adalah varietas Anjasmoro yang memiliki produktivitas lebih dari 2 ton per hektar.
Penanaman kedelai dilakukan ketika lahan yang biasa ditanami tebu memasuki masa bero, yakni sekitar empat tahun sekali. Pada masa itu, produktivitas tebu tidak maksimal karena kesuburan tanah mulai berkurang. Karena itu, lahan perlu ditanami tanaman rabuk hijau untuk mengembalikan unsur tanah agar kesuburan tetap terjaga.
Masa bero biasanya berlangsung selama satu tahun. Pada masa itu, pihaknya bisa menanam kedelai hingga tiga kali panen. Demi hasil maksimal, Pusat Penelitian Jengkol digandeng guna menerapkan prosedur operasional standar mulai dari pembajakan tanah hingga masa panen. ”Baru tahun ini kami menanam kedelai karena ingin menyukseskan upaya pemerintah untuk swasembada kedelai 2019. Dengan menanam kedelai saat masa bero, hasilnya lebih optimal,” kata Dwi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, RI masih mengimpor kedelai senilai 947 dollar AS pada 2016 dan 1,13 miliar dollar AS pada 2017. Di Jatim, Gubernur Soekarwo juga mengakui pasokan kedelai kurang sekitar 120.000 ton. Dari kebutuhan sebanyak 450.000 ton per tahun, baru terpenuhi 320.000 ton.
Pasokan kedelai tersebut dihasilkan dari lahan seluas 200.000 hektar. ”Kami ingin ada penambahan lahan hingga 50.000 hektar agar target produksi 382.000 ton ose (kedelai kupas kulit) tercapai. Perluasan lahan kedelai ditargetkan pada lahan Perum Perhutani dan BUMN lain bidang pertanian di Jatim,” katanya.
Arum Sabil, petani tebu di Jember, memilih menanam kacang edamame dibandingkan kedelai saat masa bero. Sebab, pasar edamame lebih menarik karena memiliki nilai jual lebih tinggi dan berorientasi ekspor. ”Edamame bisa diekspor dengan harga Rp 6.500 per kg dan pasarnya besar,” katanya. Setiap tahun Indonesia baru mengekspor 5 persen dari 100.000 ton kebutuhan dunia. Edamame umumnya ditanam di Jember. (SYA/ETA/BRO)