Lestarinya Nilai-nilai Tradisi Panjalu
Di Situ (Danau) Lengkong Panjalu, sumber air seluas 58 hektar di perbukitan Desa dan Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, terdapat hutan lindung Nusa Gede.
Di kawasan sumber air di ketinggian 730 meter di atas permukaan laut (dpl) ini juga terdapat makam ulama besar Sayid Ali bin Muhammad bin Umar, masih keluarga Sunan Gunung Jati, Cirebon.
Setelah Presiden RI 1999-2001 KH Abdurrahman Wahid berkunjung ke Panjalu pada 5 Juli 2000, Situ Lengkong terdongkrak menjadi obyek wisata ziarah yang karismatik.
Saat musim ziarah, seperti bulan Maulud dan Rajab di tahun Hijriah, setiap hari puluhan bus peziarah dari berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa, berkunjung ke Panjalu. Syeh Ali, panggilan lain bagi ulama besar itu, dikatakan Gus Dur, adalah penyebar agama Islam di Jabar sisi timur, ratusan tahun lalu.
”Kalau musim ziarah, setiap hari tidak kurang dari 70-80 bus berkunjung ke Situ Lengkong,” ujar Kepala Desa Panjalu Haris Riswandi Cakradinata (50).
Kepala Urusan Ekonomi Pembangunan Desa Panjalu Asep Rahmat (52) menambahkan, dari karcis masuk Rp 3.000 per orang, obyek wisata ini menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 800 juta per tahun.
Pihak desa juga mendapat penghasilan tambahan Rp 70 juta per tahun dari penyewaan tanah bagi sekitar 150 kios makanan, cendera mata, dan oleh-oleh khas Panjalu.
Setiap hari Minggu dan hari-hari libur, para pedagang dan pemilik penyewaan perahu mengantarkan peziarah melakukan tawasulan/tahlilan (berdoa untuk orang yang sudah meninggal) ke makam Syeh Ali. Makam itu berada di Pulau Nusa Gede, yang berdasarkan catatan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jabar sudah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tahun 1919.
Kearifan lokal
Kelestarian Nusa Gede hingga kini tetap terjaga karena warga Panjalu memiliki kearifan lokal. Nilai-nilai tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari karuhun (leluhur) mereka melalui isyarat bahasa tabu dan kata pamali (yang tak boleh terucap). Siapa yang berani melanggar titah karuhun itu diyakini bakal kena azab.
Amas Hidayat (51), tokoh Panjalu, menjelaskan, air Situ Lengkong dulu sering dijadikan untuk mandi dalam rangka bertobat (siram tobat) karena dianggap air keramat. Orang tua dulu, demi martabat tertentu, identik dengan kegagahan dan kekuatan lahir-batin, mengolah diri dengan mandi di Situ Lengkong pada malam hari. Terutama di malam Jumat. ”Karena itu, sumber air ini dijaga dan warga tidak berani mengganggu pepohonan di Nusa Gede, sekalipun pohon itu sudah roboh dan lapuk,” ujar Amas.
Sumber air Situ Lengkong Panjalu hampir tak pernah kering kendati musim kemarau. Demikian pula sumber air Situ Ciater, anak Situ Lengkong di sebelah hilirnya. Malah sumber air Ciater, seluas 6-7 hektar, berisi ikan-ikan yang diyakini warga memiliki kekeramatan. Siapa yang berani mengambil ikan di Ciater, baik dipancing maupun jaring, banyak cerita harta kekayaannya hilang.
”Setelah makan ikan dari Ciater, tiba-tiba kambing-kambing peliharaannya mati. Ada juga yang ayam-ayam peliharaannya mati semua,” ujar Amas.
Yuliyanti (35), pemilik warung nasi di pinggir Situ Ciater, pernah mendengar adanya pengusaha yang mau membangun vila dengan menguruk sebagian situ. ”Tiba-tiba pekerjanya sakit parah dan tak lama pengusaha itu meninggal sebelum tuntas menguruk,” ujar Yuli, sesuai kisah yang dia dengar.
Ritual Nyangku
Dalam buku sejarah kisah Panjalu karya Djadja Sukardja (2011) disebutkan, Situ Lengkong adalah danau buatan yang dibangun Raja Panjalu Sanghyang Borosngora pada abad ke-7-8 Masehi. Menurut cerita rakyat Panjalu, Nusa Gede merupakan pusat kerajaan Panjalu yang dikitari Situ Lengkong, sekaligus benteng pertahanan.
Sumber air Situ Lengkong dan Ciater terletak di puncak bukit Panjalu, diapit Gunung Sawal di selatan dan Gunung Bitung di utara. Sumber air itu salah satu dari tujuh mata air yang digunakan untuk mencuci benda-benda pusaka peninggalan Panjalu pada upacara sakral Nyangku, yang digelar tiap akhir Maulud di tahun Hijriah.
Dalam ritual itu ditampilkan beragam seni tradisi berbasis kearifan lokal, terutama terkait kelestarian lingkungan. Misalnya, seni bebegig dari Sukamantri, kecamatan pemekaran dari Panjalu. Pemerhati budaya Sunda, yang juga Wakil Rektor I Institut Agama Islam Latifah Mubaroqiyah, Asep Salahudin, menyebutkan, dalam tradisi masyarakat Situ Lengkong, perpaduan mistik Sunda dan Islam sangat kental.
Sebelum ritual Nyangku sebagai acara utama, warga Panjalu menggelar ritual Samida (sami-sami dahar atau makan bersama). Pada masa lalu, tradisi ini digelar di pinggiran Situ Lengkong yang diisi dengan makan bersama dan berdoa. ”Samida berarti makan bersama-sama (lahir) dan berdoa (batin), sejenis napak tilas dari karuhun Panjalu dulu yang melakukan syiar agama,” ujarnya.
Sesudah Samida, dilanjutkan dengan ritual pengambilan air di tujuh mata air itu melalui prosesi adat khusus. Pengambilan air untuk membersihkan senjata pusaka itu dilakukan oleh kuncen atau sesepuh Panjalu. Pengambilan air oleh sesepuh Panjalu untuk menghormati betapa sakralnya sumber-sumber air itu bagi kehidupan.